Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia mencatat komoditas minyak sawit Indonesia tetap tumbuh baik sepanjang 2015. Kenaikan permintaan dari negara-negara seperti China, Pakistan dan Uni Eropa pada November 2015 mendorong ekspor minyak sawit Indonesia tetap tumbuh baik sepanjang 2015.
Kinerja Ekspor minyak sawit Indonesia Secara year on year mengalami kenaikan sebesar 21% dibandingkan periode yang sama tahun 2014, atau dari 19,73 juta ton sepanjang Januari – November 2014 naik menjadi 23,89 juta ton periode yang sama tahun 2015.
Permintaaan sawit terbesar datang dari Negara Uni Eropa, yang mengalami kenaikan 27% menjadi 418,05 ribu ton, Pakistan mengerek permintaan minyak sawitnya menjadi 159,95 ribu ton atau naik 22% dibandingkan bulan sebelumnya, dan China mencatatkan kenaikan 15% dengan permintaan mencapai 436,91 ribu ton.
Direkrut Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan dalam keterangan persnya menyebutkan, kenaikan permintaan dari ketiga negara tersebut mulai adanya pelarangan penggunaan minyak kedelai dari hasil rekayasa genetika (GMO-genetically modified organism) khususnya di Amerika dan China.
“Sementara kenaikan impor minyak sawit Pakistan dikarenakan meningkatnya permintaan untuk memenuhi kebutuhan industri makanan di negara tersebut,” tambah Fadhil, Jakarta, Kamis (17 Desember 2015)
GAPKI pun mencatat terjadi penurunan permintaan dari pasar baru Indonesia di negara-negara Afrika. Penurunan mencapai 70% atau dari 259.08 ribu ton Oktober lalu menjadi 72,37 ribu ton pada November.
“Penurunan permintaan disinyalir terkait dengan isu Pelarangan dari Food and Drugs Authority atau Otoritas Makanan dan Obat-obatan di Ghana setelah ditemukan banyaknya minyak sawit yang menggunakan pewarna sintetis yang membahayakan kesehatan. Sebagai informasi di negara-negara Afrika produk Red Palm Oil sangat popular,” ungkapnya.
Penurunan ekspor yang cukup siginifikan dicatatkan oleh India pada November ini sebesar 25,5% atau dari 679,38 ribu ton pada Oktober tergerus menjadi 506,39 ribu ton di November. Hal ini disebabkan pelarangan penumpukan minyak nabati di dalam negeri. Diketahui Negeri Bollywood juga menaikan tarif impor khususnya untuk Butter Oil dari 30% menjadi 40%.
“Khusus untuk minyak sawit sendiri para pengusaha industri hilir India bahkan mengusulkan kenaikkan tarif bea masuk menjadi empat kali lipat dari yang berlaku saat ini, karena harga minyak sawit yang murah telah mematikan industri hilir minyak nabati India,” katanya
GAPKI mencatat penurunan permintaan minyak sawit juga terjadi dari Bangladesh meskipun secara kuantitas tidak besar akan tetapi secara persentase cukup signifikan. Sepanjang November ekspor minyak sawit Indonesia ke Bangladesh hanya mampu mencapai 44,85 ribu ton atau turun 55% dibanding ekspor bulan sebelumnya sebesar 99,96 ribu ton. Hal yang sama diikuti Amerika Serikat (AS).
Kinerja ekspor minyak sawit ke Negeri Paman Sam pada November melorot 30% atau hanya mampu mencapai 82,19 ribu ton. Penurunan permintaan karena adanya melimpahnya stok kedelai di dalam negeri dan isu sustainable palm oil sourcing, kebakaran lahan menjadi salah satu alasan bahwa minyak sawit Indonesia tidak sustainable. Selain itu perubahan regulasi pemberian insentif terhadap biodiesel di AS disinyalir menjadi salah satu penyebab turunnya ekspor ke AS. Pemerintah AS berencana merubah insentif blenders (pencampur) menjadi kepada produsen. R3