Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) memberikan catatan penting dalam perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia yang dinilai stagnan.
Diungkapkan Ketua Umum DPP APKASINDO, Gulat Manurung, moratorium dan terbitnya UUCK telah membuat tidak ada lagi izin baru yang terbit untuk korporasi sawit, sehingga secara hitungan matematika dipastikan produksi CPO stagnan dan hal ini terbukti sejak 2019-2022.
Pada kondisi ini seharusnya harga minyak sawit akan terdampak naik karena kebutuhan bertambah, apalagi dengan penerapan campuran biodiesel sawit 30% ke minyak solar atau tren disebut B30 yang mampu menyerap CPO sampai 15,65% dari total produksi CPO 2021 dan meningkat menjadi 18,92% ditahun 2022.
“Tentu di 2023 Februari ini serapan CPO dengan mandatori B35 akan juga naik secara signifikan. Jika menurut data BPDPKS, tahun 2023 akan membeli FAME (fatty acid methyl ester) atau yang biasa kita sebut biodiesel sebanyak 13,15 juta KL. Tentu hal ini akan menyerap paling tidak 28% dari total produksi CPO Indonesia,” kata Gulat dalam keterangannya, Jumat (27/1/2023).
Lebih lanjut Gulat mempertanyakan, akankah pengaruh serapan CPO atas program B35 tahun 2023 ini akan berdampak biasa-biasa saja terhadap harga TBS petani?.
Naik-turunnya harga CPO sangat berdampak ke petani sawit dimana ukuran harga TBS adalah harga CPO. Jika melihat HPP per kg TBS periode Juni-Desember 2022 yang sudah mencapai Rp 2.250 tapi rerata harga TBS penetapan Dinas Perkebunan pada periode tersebut hanya rerata Rp 1.850-2.600/kg TBS. Harga ini semakin anjlok untuk kelompok petani swadaya yang hanya rerata Rp1.400-2.250/kg TBS pada enam bulan terakhir.
“Untuk itu, kami APKASINDO memberikan catatan penting untuk perjalanan sawit Indonesia di 2023 dengan bercermin ke tahun-tahun sebelumnya,” ungkap Gulat.
Catatan Pertama, kata Gulat, perlu menyiasati sumber pokok terjadinya penurunan produksi CPO terkhusus produktivitas perkebunan sawit rakyat adalah hal yang sangat penting. Sempat melonjaknya harga pupuk sampai 300% adalah pokok utama, sehingga petani praktis hanya 20% yang memupuk periode Juni-Desember 2022. Namun sejak akhir Desember tahun lalu harga pupuk berangsur turun, sehingga kenaikan pupuk bulan Januari ini tercatat dikisaran 125-150%.
“Untuk itu perlu diberlakukan HET pupuk dan dalam hal ini Pupuk BUMN harus menjadi andalannya. Untuk apa keuntungan Pupuk Indonesia (BUMN) naik tajam dan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia di tahun 2022 sebesar Rp19 Triliun, tapi disaat yang bersamaan terjadi penurunan pemasukan negara (devisa) dan pajak minyak sawit yang jauh lebih besar, belum lagi dampak ganda lainnya terhadap petani dan ekonomi Indonesia,” katanya.
Lantas, bagaimana dengan dana Sarpras BPDPKS (yang 99% masih belum pernah digunakan untuk pupuk), jika digunakan untuk membeli pupuk ke BUMN lalu dijual ke petani sawit dengan harga HET?.
Catatan kedua, ungkap Gulat, Program Peremajaan Sawit Rakuat (PSR) dan Konsistensi Regulasi. PSR adala upaya jitu untuk menggenjot produksi CPO pasaca diberlakukannya moratorium dan lahirnya UUCK, terkhusus dari kebun rakyat. PSR itu roh nya adalah intensifikasi (meningkatkan produktivitas tanpa menambah luas lahan).
“Produktivitas kebun sawit rakyat masih jauh dari idealnya, hanya berkisar 12 ton TBS/ha/tahun dengan produksi CPO rerata 2,52 ton/ha/tahun. Dengan menggunakan bibit unggul (hybrid) maka Produksi TBS berpotensi mencapai idealnya 36 ton TBS/ha/tahun dengan rendemen 8,64 ton CPO/ha/tahun. Tentu untuk mencapai produktivitas kebun rakyat ini hanya bisa dicapai dengan replanting (PSR),” kata Gulat.
Melihat kinerja capaian PSR Program Strategis Presiden Jokowi, dari tahun ke tahun yang selalu menurun dan puncaknya adalah tahun 2022 lalu yang hanya mencapai 9,8% dari target 180.000 hektar, ungkap Gulat, membuat semua entitas sawit terkejut dan membuat pihak Uni Eorpa (UE) pun bergembira. Padahal semua istilah sudah dipakai untuk mencapai target. Dari mulai percepatan PSR-lah, pemberdayaan kebun sawit rakyat-lah, GAP-lah, sosialisasi PSR-lah dan lain-lain sebagainya. Istilah yang belum digunakan tinggal Turbolisasi PSR.
“Apapun istilah yang dipakai tidak akan berpengaruh ke capaian target sepanjang regulasi yang mengatur persyaratan PSR tersebut tidak masuk akal untuk kalangan dan level kami petani sawit,” jelas Gulat.
Sejak Permentan 03 tahun 2022 lahir (Februari), sudah diperkirakan akan terjadi perlambatan PSR, terkhusus dimasukkannya bebas gambut sebagai persyaratan dan akhirnya menuai protes luar biasa petani sawit. Dan untungnya, tutur Gulat, Kementerian Pertanian sudah merespon protes petani perihal aturan bebas gambut tersebut meskipun KLHK merasa tidak pernah mengusulkan perihal gambut tersebut masuk peryaratan PSR.
Selesai hambatan satu, muncul lagi hambatan baru. Akhir tahun 2022 lalu, muncul lagi Surat Edaran dari Kementerian ATR BPN Nomor 396/SE.300.UK/X/2022, tentang Permohonan dukungan fasilitasi dalam rangka program PSR.
Lantas catatan Ketiga, menilik capaian penyelesaian klaim sawit dalam Kawasan hutan melalui Pasal 110A dan 110B (UUCK). Dari SK KLHK Tahap I-IX, menurut rekapitulasi DPP APKASINDO (2023), diketahui bahwa totalnya sudah mencapai 1,8 juta ha dari total klaim sawit dalam Kawasan hutan seluas 3,4 juta ha. “Artinya yang 3,4 juta ha ini harus di clearkan sampai Nopember 2023 sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh KLHK,” jelas Gulat.
Namun demikian berdasarkan rekap internal Apkasindo mencatat, dari 1,8 juta ha tersebut ternyata didominasi oleh korporasi sawit seluas 1,2 juta ha (65,64%), BUMN Sawit 147 ribu ha (7,94%) dan petani sawit hanya 281 ribu ha (15,17%).
“Kami tidak mempermasalahkan tingginya capaian korporasi dalam gerbong UUCK ini, karena memang hal itu wajar dengan kemampuan manajemen perusahaan tersebut (tim legal). Tapi bagaimana dengan kami petani sawit, siapa yang menolong kami?” tanya Gulat.
Sebab itu dengan menilik berbagai sumber data bahwa dari 3,4 juta ha sawit dalam Kawasan hutan tersebut, korporasi hanya 36% (1,224 juta ha). Artinya bahwa lahan sawit korporasi sudah selamat melalui gerbong UUCK. Sedangkan petani sawit masih tersisa (belum masuk gerbong) seluas 1,8 juta ha lagi dan batas waktu ultimum remedium akan berakhir Nopember 2023. “Jika tidak tuntas apa yang terjadi?” kata Gulat.
Capaian PSR juga dipengaruhi oleh semakin intensnya APH (aparat penegak hukum) melakukan pemeriksaan pelaksanaan PSR meskipun BPK atau konsultan yang ditunjuk oleh BPDPKS untuk mengaudit PSR sudah mengatakan clear.
“Dari 22 Provinsi APKASINDO, beberapa provinsi tersebut kami sudah berkordinasi dengan baik ke APH untuk menjelaskan maksud dan tujuan program strategis nasional Pak Jokowi tersebut dan menjelaskan bahwa dana PSR tersebut bukan berasal dari APBN, tapi dari dana sawit untuk sawit yang dipungut, Kelola dan disalurkan oleh BPDPKS. Alhamdulillah sudah jauh berkurang,” katanya.
Namun yang masih memprihatinkan, kata Gulat, terkait salah satu koperasi peserta PSR yang sudah di BAP oleh APH sampai dua tahun tidak berkesudahan, ini terjadi di Kejati Aceh. Jika memang salah, segera di TSK kan, namun jika tidak ditemukan pelanggaran yang cukup tidak berarti sebaiknya di selesaikan.
“Jika dicari-cari kesalahan tentu pasti ada karena keterbatasan kami petani sawit. Tetapi jika cukup tidak berarti temuan tersebut, sebaiknya dicarikan solusinya. Karena PSR ini bersifat affirmative action. Informasi yang kami dapat semua rekening petani diblokir terkhusus rekening penerima dana dari BPDPKS yang berakibat koperasi tersebut tidak dapat melakukan perawatan kebun PSR sebagaimana dalam rencana kerja PSR yang sudah disetujui oleh Kementan dan BPDPKS saat pengusulan,” kata Gulat.