Kelapa sawit memegang peran strategis dalam perekonomian nasional. Terbukti, defisit perdagangan ekspor Indonesia dapat diminimalisir dari surplus perdagangan non-migas yang kontributor utamanya produk kelapa sawit.Tidak dapat dipungkiri, perkebunan sawit, baik milik swasta, rakyat dan BUMN, turut menopang pertumbuhan perekonomian nasional. Apalagi, kini lebih dari 3,5 juta rakyat Indonesia telah terjun menjadi petani sawit.
Keberadaan ‘emas hijau’ ini terutama dirasakan langsung oleh para petani kecil di perdesaan. Jutaan rakyat miskin di perdesaan naik kelasnya menjadi penduduk kelas menengah setelah ‘bersentuhan’ dengan kelapa sawit.
Tengok saja Jamaluddin, 37, baginya tanaman sawit sudah bak anaknya sendiri. Dengan telaten ia merawat dan membesarkan ratusan pohon sawit yang ia tanam di lahan seluas 18 hektare miliknya di Desa Tikke, Mamuju Utara.Sulawesi Barat. Pasalnya, dari tandan-tandan buah sawit itulah Jamaluddin bisa menghadirkan nasi di meja makannya.
Tidak hanya sekadar hidup ala kadarnya. Dari keuntungan menjual sawit, Jamaluddin bahkan mampu hidup lebih dari berkecukupan. Sebuah rumah, tiga buah truk dan sebuah kendaraan pribadi, ia peroleh setelah terjun menjadi petani sawit. Kini, ia pun telah mampu membayar 10 pekerja untuk membantu menanam dan memanen sawit miliknya.
“Sawit itu penurut. Jarang kena penyakit dan ngerjainnya juga nggak terlalu susah. Setiap bulan pasti ada produksi yang bisa dijual buat makan. Beda dengan kakao,†kata Jamaluddin di Tikke, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya Jamaluddin memang sempat menjadi petani kakao selama bertahun-tahun hingga 1998. Terkadang, sekali panen ia bisa memeroleh Rp5-Rp6 juta dari tanaman kakao. Akan tetapi, kian lama harga kakao di pasaran tidak menentu.
Tanamannya pun kerap mati diserang penyakit. “Panen sering gagal. Terkadang sebulan nggak ada pemasukan sama sekali. Akhirnya saya nyoba nanam sawit,†ujar pria yang telah memiliki 4 anak itu.
Jamaluddin pun mulai menanam sawit pada tahun 2000. Kala itu, perusahaan meminjamkan kredit benih dan turut membantu penanaman sawit di lahannya.Sejak 2004 silam, gurihnya keuntungan dari emas hijau pun mulai dirasakan Jamaluddin.
Kini, menurut Jamaluddin, hampir 90% petani di desanya beralih menjadi petani sawit.Dari tiap 2 hektare lahan,
keuntungan sebesar Rp5 juta per bulan bisa diraih. Jamaluddin sendiri setiap bulan bisa membawa pulang Rp30 juta per bulannya.
“Masyarakat sekarang sudah lebih sejahtera. Rumah-rumah semakin bagus, petani yang punya motor atau mobil juga banyak. Sedikit yang masih bertahan menjadi petani kakao,†terang Jamaluddin yang kini juga dipercaya sebagai Ketua Kelompok Petani Sawit Tikke.
Di desa-desa sentra sawit, pendapatan seorang petani sawit bahkan bisa mencapai lebih dari Rp. 100juta per tahun. Di Kalimantan Tengah misalnya, seorang petani Mandiri bisa mengantongi pendapatan sebesar Rp. 214 juta per tahun sedangkan di Sumatera Selatan pendapatan para petani plasma bisa berada di kisaran Rp. 293 juta pertahun.
Tidak mengherankan jika Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) menemukan data yang menakjubkan. Dalam riset yang mereka lakukan terhadap petani sawit di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah tampak bahwa pendatapan petani meningkat drastis dari 2009 hingga 2013. Tidak hanya itu. Produksi CPO juga berkontribusi positif terhadap meningkatnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di daerah-daerah sentra sawit semisal, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah.
Di Sumatera Utara misalnya, PDRB di beberapa kabupaten sentra sawit di provinsi ini naik signifikan sejak beberapa dekade lalu. Berdasarkan catatan GAPKI, PDRB kabupaten sentra sawit naik dari sekitar Rp10 triliun pada dekade 1990-an menjadi sekitar Rp80 triliun pada 2013 lalu. Sedangkan PDRB kabupaten non sawit hanya naik dari kisaran Rp10 trilun pada dekade 1990-an menjadi sekitar Rp30 triliun pada 2013.
Menanggapi geliat wilayah-wilayah sentra sawit tersebut. Bupati Mamuju Utara, Sulawesi Barat, Agus Ambo Djiwa menegaskan bahwa industry kelapa sawit akan menjadi sentra pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional. Menurut Agus, keuntungan dari perkebunan sawit berperan besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di kabupaten yang dia pimpin.
“Pertumbuhan ekonomi Mamuju Utara itu sekitar 14,47%. Sebanyak 49% diantaranya berasal dari pertanian dan perkebunan salah satunya dari sawit,†ujar Agus saat dihubungi di Jakarta, kemarin.
Minim Perhatian
Sayangnya, meski member kontribusi besar bagi perekonomian, industri kelapa sawit masih minim perhatian dari pemerintah. Kesungguhan pemerintah menjadikan produk sawit dan turunannya sebagai komoditas unggulan masih sekedar slogan. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan sawit masih minim, belum efektif dan terkadang malah kontraproduktif.
Proteksi terhadap sawit di perdagangan globalpun melemah. Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono, para pemangku kepentingan belum satu suara dalam mendorong perkembangan sawit sebagai komoditas ekspor unggulan. Ego sektoral masih kerap mendominasi kementerian-kementerian yang punya tanggung jawab mengembangkan industry sawit.
“Ironisnya, sebagian besar masalah yang dihadapi industri sawit justru berada di luar Kementerian Pertanian. Di pihak lain, LSM asing cenderung berupaya menghambat ekspansi perkebunan sawit dengan alasan kerusakan lingkungan, deforestasi, biodiversiry, emisi gas rumah kaca, kesehatan dan lainnya,†ujar Joko di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kondisi ini berimbas pada dua hal : melambatnya pertumbuhan produksi dan menurunnya daya saing produk sawit. Menurut Joko, perlambatan pertumbuhan produksi terutama akan merugikan kepentingan nasional.
“Market share sawit Indonesia di pasar minyak nabati global saat ini sekitar 20%. Jika angka ini stagnan atau turun artinya kita kehilangan momentum.
Dampak multiplier effect* bagi Indonesia juga turun, khususnya dalam upaya pengurangan kemiskinan dan penyediaan lapangan kerja,†jelas Joko.
Terkait kebijakan yang kontraproduktif terhadap pertumbuhan industry sawit, Joko mencontohkan, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/2013. Peraturan tersebut bertendensi membatasi ekspansi perusahaan-perusahaan besar.
Dipaparkan Joko, pembatasan ekspansi perusahaan besar akan menghambat pertumbuhan kebun plasma untuk masyarakat. Akibat kebijakan tersebut, setidaknya sekitar 25 ribu kepala keluarga per tahun kehilangan kesempatan untuk memiliki kebun plasma.
“Selain itu, tata ruang di beberapa provinsi juga tidak jelas. Ini misalnya ditunjukkan dengan tidak sinkronnya perda tata ruang dengan Peraturan Menteri Kehutanan mengenai kawasan hutan. Ini juga menimbulkan ketidakpastian dalam masa depan investasi,†imbuhnya. Di sisi lain, daya saing produk sawit Indonesia juga terus menurun. Salah satu penyebab utamanya, biaya logistik dalam negeri yang mahal akibat buruknya infrastruktur jalan dan pelabuhan.
Joko mengatakan kampanye global yang menyerang komoditas sawit akan terus berlangsung. Kampanye tersebut merupakan perang berbasis kepentingan dagang dan kecil kaitannya dengan isu yang diusung, misalnya soal lingkungan.
“Kalau kita lihat sekarang, gap harga antara minyak sawit dan minyak kedelai semakin kecil. Saat ini perbedaan harganya hanya USD 90 per ton, padahal 10 tahun yang lalu masih beda USD 200 per ton. Artinya, produk minyak kedelai makin kompetitif dan mengejar daya saing minyak sawit,†katanya.
Bagaimana solusi menghadapi semua tantangan ini? Joko menjawab singkat. Perlu adanya kesamaan persepsi antar kementerian dan lembaga pemerintah lainnya dalam memandang sawit sebagai komoditas unggulan. Bila perlu, pemerintah membentuk Kementerian Perkebunan dan Komoditas Strategis untuk memperkuat pengembangan industry sawit.