Menjadi orang sukses di tanah rantau tidak pernah terbayangkan di benak I Made Suardana, transmigran asal Kabupaten Badung, Bali. Ia menjadi transmigran dan meninggalkan pekerjaannya di Bali sebagai kernet truk dan menuju ke tanah harapan barunya, Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, sejak 1986. Awalnya ia bersama transmigran lainnya mendapatkan tanah seluas 1,5 hektare.
Saat pertama kali ia menuju Mamuju Tengah, yang ada hanyalah hutan belantara. Jalan, rumah, dan fasilitas umum lainnya belum ada. Suardana pun harus bekerja keras agar lahan yang ditempatinya itu memberikan harapan sehingga kehidupannya membaik.
Pada awalnya ia tekun menggarap lahan untuk dijadikan perkebunan jeruk dan kakao. Memang pada masa itu, dua komoditas tersebut menjadi andalan. Bahkan Suardana merasakan betapa nikmatnya menjadi petani jeruk dan kakao karena keuntungannya mampu menghidupi keluarganya. Bapak lima anak itu mulai berhenti menjadi petani jeruk sekitar 2000-an.
Saat Indonesia dihantam krisis ekonomi, harga jeruk anjlok dan tak menentu karena pemerintah mengeluarkan tata niaga jeruk. Kemudian tanaman kakaonya pun satu per satu mati sekitar 2004 karena terserang hama penyakit. Tidak mau berlama-lama memikirkan kerugian yang mendera, Suardana pun beralih ke tanaman sawit sejak 2005.
Tanah seluas 15 hektare miliknya yang dulunya sebagai lahan jeruk dan kakao kini menjadi lahan sawit. “Lima tahun kemudian saya sudah merasakan manfaat menanam sawit ini. Dari segi keuntungan, jelas ini lebih menjanjikan,” kata Suardana.
Suardana pun memperluas perkebunan sawitnya. Dari uang keuntungan penjualan sawit, ia bisa membeli lahan baru. Saat ini lahan yang dimiliki seluas 45 hektare dan 20 hektare di antaranya ditanami sawit. “Dari hasil panen bulan lalu, saya bisa menabung Rp47 juta. Syukurlah saya sudah bisa merasakan hasil perjuangan selama ini,” kata Suardana bangga.
Dengan pendapatan yang cukup besar, Suardana tidak lagi mengayuh sepeda saat berada di perkebunan. Ia mampu membeli lima unit truk dan satu unit mobil Toyota Fortuner.
Ia juga memperbaiki rumahnya di Desa Salupangkang, Kecamatan Topoyo, dengan ornamen khas Bali. Ia pun aktif menggulirkan pendapatannya melalui lembaga keuangan mikro untuk membantu petani lainnya dalam bentuk kemitraan bagi hasil.
Ia pun berencana seluruh lahannya akan ditanami sawit karena mudah tumbuh, tahan penyakit, dan pemasarannya lebih jelas karena ada pembelinya seperti PT Surya Lestari yang selama ini menerima sawit dari petani sekitar.
Pengalaman sukses menjadi petani sawit juga dialami Muhammad Sujud, transmigran asal Temanggung, Jawa Tengah, yang tinggal di Desa Waeputeh. Dia pun mengawali usahanya sebagai petani jeruk dan kakao. Namun, sejak harga jeruk dan kakao bermasalah di pasaran, Sujud pun bekerja serabutan menjadi sopir dan kuli di perkebunan karet Mamuju Tengah agar keluarganya bisa makan setiap hari.
Sama halnya dengan Suardana, Sujud pun kemudian mulai menanam sawit sejak 2004. Ia fokus dan tekun mengembangkan sawit miliknya. “Hasilnya memang dirasakan saat ini,” ujarnya dengan senyum lega. Keuntungan dari hasil penjualan sawit digunakan Sujud untuk membangun rumah tipe 100 serta membeli 2 mobil sedan dan 6 unit truk.
Sujud pun tak lupa menabung untuk membeli lahan baru guna memperluas perkebunan sawit. Selain Suardana dan Sujud, ada pula petani sawit yang akhirnya terjun sebagai politikus. Aras Tammauni awalnya petani sawit sekaligus kepala desa di Desa Tobadak, Kecamatan Tobadak, Mamuju Tengah.
Sekarang ia menjadi calon terpilih DPRD Provinsi Sulawesi Barat untuk Dapil Mamuju Tengah. Diakui Aras, setiap bulannya ia mendapatkan penghasilan dari penjualan sawit di kebun pribadinya seluas 600 hektare sebesar Rp1,5 miliar.