Pemprov Papua terus berjuang agar PT Freeport Indonesia membangun smelter di wilayah mereka, bukan di Jawa Timur. Pihak Freeport punya alasan tersendiri. Rozik Boedioro Soetjipto, mengatakan, Freeport kesulitan jika harus membangun tempat pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di Timika, Papua. Sebab, pemerintah pusat hanya memberi batas waktu pembangunan smelter hingga akhir 2016.
Jika tetap diwajibkan membangun smelter dalam waktu pendek, Freeport memilih tempat yang sudah ada infrastruktur yakni di Gresik, Jawa Timur. Sedangkan jika dibangun di Papua, maka Freeport butuh waktu panjang karena harus membangun infrastruktur. “Kewajiban sesuai PP akhir 2016 harus selesai, itu masalahnya, waktunya terlalu pendek untuk kami bangun di Papua, infrastrukturnya harus dibangun dan waktunya terlalu pendek,†ucap Rozik.
Rozik mengatakan telah membahas keterbatasan waktu pembangunan smelter ini dengan Gubernur Papua. “Itu juga yang menjadi pembicaraan dengan beliau (Gubernur Papua), yang saya sampaikan. Saya menghadap Bapak Gubernur untuk mohon saran dan juga bersama-sama menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan daerah, seperti untuk bahas amandemen Kontrak Karya,” ujarnya.
Pihak Freeport berharap, Gubernur Lukas Enembe mau membicarakan hal ini dengan pemerintah pusat. Freeport ingin batas waktu pembangunan smelter diperpanjang. “Pasti memerlukan waktu yang lebih leluasa, pasti akan lebih lama dari waktu yang ditetapkan. Mungkin Pak Gubernur akan sampaikan hal ini di nasional, kami lihat dari sisi teknis demikian.â€
Sebelumnya Pemprov Papua terus mendesak Freeport agar membangun smelter di Papua, bukan di Gresik, Jawa Timur. Menurut Gubernur, perusahaan tambang asal AS itu tidak bisa menambang di Papua, kemudian mengolah dan memurnikannya di provinsi lain.
“Freeport harus bangun smelter atau apa pun namanya itu di sini (Papua), bukan di luar Papua,†kata Lukas, pada Juni lalu.
Smelter Freeport pembangunannya bekerja sama dengan PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Aneka Tambang Tbk. (Persero). Smelter ini dibangun dengan perkiraan total investasi US$ 2,2 miliar atau setara dengan Rp 25,3 triliun.