Pelaku usaha mendorong pemerintah memberikan insentif bagi industri hilir kelapa sawit antara lain dengan memberikan suku bunga pinjaman yang kompetitif. Itu diperlukan agar industri hilir sawit di Tanah Air bisa lebih berdaya saing saat menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akhir tahun ini.
Industri hilir sawit cenderung padat modal sehingga pembiayaannya harus melibatkan perbankan. Sayangnya, saat ini suku bunga pinjaman di Indonesia masih di atas 10%, padahal di Malaysia dan Thailand masing-masing hanya 5% dan 7%.
Managing Director Sinar Mas Group yang juga Wakil ketua Kadin Gandi Sulistiyanto mengungkapkan, MEA 2015 bisa menjadi peluang sekaigus ancaman bagi industri sawit Indonesia. MEA menjadi ancaman apabila pemerintah tidak memanfaatkan tahun ini sebagai momentum untuk segera menggerakkan industri hilir sawit.
“Industri hilir sawit di Tanah Air memang mengalami hambatan investasi karena masih tingginya suku bunga pinjaman, padahal industri tersebut cenderung padat modal. Ini perlu diperhatikan pemerintah,” kata dia di Jakarta.
Ketua Bidang Advokasi dan Hukum GAPKI Tungkot Sipayung menuturkan, dibanding negara-negara Asean lainnya, suku bunga pinjaman di Indonesia jauh lebih tinggi. Di Indonesia, suku bunga pinjaman 11,8%, padahal di Malaysia hanya di kisaran 4,8-5%, Thailand 7%, Filipina 5,7% dan Singapura 5,4%. Dengan duku bunga yang masih dEmikian tinggi, investasi hilir sawit menjadi sangat mahal dan tidak layak (feasible). “Dalam menghadapi MEA, upaya jangka pendek yang harus dilakukan adalah dengan memangkas suku bunga pinjaman,” kata dia.
Menurut Tungkot, para pelaku sawit yang tergabung dalam GAPKI, APINDO dan asosiasi lainnya sudah kerap meminta Bank Indonesia (BI) selaku pemangku kebijakan moneter untuk mencari solusinya. Namun hingga kini, rezim suku bunga tinggi masih saja diberlakukan. “Ini hendaknya menjadi masukan, karena bukan industri hilir sawit yang terbebani, tapi juga industri lainnya. Jangan sampai hilirisasi minyak sawit Indonesia justru terjadi di Malaysia, Thailand atau negara Asean lainnya,” kata dia.
Tungkot juga mengatakan, industri hilir sawit bersifat padat modal dan jangka panjang, sehingga memerlukan dana investasi besar. Untuk meraup dana besar, industri hilir butuh dukungan sektor perbankan. BI harus mengakhiri rezim suku bunga tinggi sehingga membuat tingkat suku bunga yang kompetitif. Jika hal ini dapat dilakukan, hilirisasi akan berjalan sendiri tanpa harus dipaksa pemerintah. Indonesia pun akan menikmati pertumbuhan ekonomi 8-10% seperti halnya Tiongkok.
Menurut Tungkot, hilirisasi sawit berarti mengembangkan industri hilir untuk mengolah minyak sawit secara lebih lanjut di dalam negeri menjadi olein, oleokimia, biodiesel, surfaktan, lubrikan dan lain-lain. Namun dengan suku bunga pinjaman yang tinggi, ragam produk turunan minyak sawit Indonesia hanya sedikit. Indonesia baru mampu menghasilkan 40 jenis produk turunan. Itupun sebagian besar berupa olahan sederhana (CPO plus), sementara Malaysia sudah menghasilkan lebih dari 100 produk dan bukan CPO plus.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pernah menyatakan bahwa pada 2014 Indonesia sudah mampu menghasilkan 154 jenis produk turunan minyak sawit dan tahun ini menjadi 169 jenis yang terdiri atas segmen pangan, kimia, energi terbarukan, termasuk biodiesel. Sebelum program hilirisasi minyak sawit dijalankan 2011, ragam produk hilir minyak sawit yang dihasilkan Indonesia hanya 54 jenis.
Perkembangan ragam produk turunan minyak sawit etrsebut telah berhasil mendongkrak porsi atau komposisi ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya. Pada 2011, rasio ekspor minyak sawit mentah (CPO) dibanding produk olahannya adalah 70:30. Namun mulai 2013, posisinya berbalik menjadi 30:70. Kemenperin telah memfasilitasi pemberian insentif fiskal bagi pelaku usaha indsutri hilir sawit, seperti tax holiday dan tax allowance.
Namun demikian, baik Gandi maupun Tungkot sepakat bahwa MEA 2015 juga bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk menentukan harga minyak sawit. Apabila kompak bersatu, Indonesia dan malaysia selaku produsen terbesar bisa menjadi penentu harga di pasar global. “Jangan saling menjatuhkan, tapi sama-sama menghadang tekanan minyak nabati lain di dunia,” kata dia yang juga direktur eksekutif PASPI.
Dari sisi daya saing, kata Tungkot industri hilir sawit RI memang kalah dibanding negara lain. Namun, industri hulu sawit Indonesia sangat siap menghadapi MEA 2015, bahkan jauh lebih unggul dibanding Malaysia dan Thailand. Ekspansi hulu sawit masih terjadi meski ada hambatan seperti moratorium perizinan di atas hutan alam dan lahan gambut serta pembatasan kepemilikan lahan.