Sebetulnya geli dan malu membagikan cerita ini. Malu karena tidak patut ditiru. Tetapi, setelah dipikir, tidak ada salahnya berbagi pengalaman yang jelas bukan sebuah prestasi. Sebagai pelajaran buat anak cucu, jangan pernah meninggalkan pendidikan, karena kita pasti menyesal. Kisah ini saya bagikan biar juga menjadi pelecut diri agar sekolah S2 yang kali ini tidak akan gagal lagi.
Kuliah S2 sampai lima kali di empat perguruan tinggi yang berbeda tentu saja sebuah prestasi. Tetapi itu kalau semuanya lulus. Tetapi kalau empat kali sekolah S2 tidak selesai, mungkin bisa masuk MURI. Iya itulah track record pendidikan saya yang tentunya tidak patut dibanggakan.
Saya tidak akan berapologi, mencari pembenar, kenapa saya selalu gagal menyelesaikan S2. Alasan apapun, misalnya lebih asyik bekerja daripada sekolah, tidak bisa saya terima. Meskipun berkesempatan beberapa kali menerima beasiswa untuk short course di luar negeri, salah satunya beasiswa dari US Department of State (Kementerian Luar Negeri AS) tahun 2004, tetap saja tidak selesai S2 adalah catatan perjalan hidup yang hingga hari ini saya sesali.
Kuliah S2 pertama saya adalah di Program Studi Magister Akuntasi Universitas Airlangga, sekitar tahun 2002. Test TPA dan TOEFL, lulus. Alhamdulillah langsung disambut dengan hangat oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Prof Dr Tjiptohadi Sawarjuwono dan disemangati agar serius kuliah. Pak Tjip —demikian saya memanggil beliau— saat itu menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Akuntansi Unair. Sayang keasyikan dengan pekerjaan sebagai seorang redaktur ekonomi di sebuah media cetak terbesar di Jatim, memporak-porandakan kuliah saya. Berantakan dan berhenti sampai semester pertama. Saya malu dengan Prof Tjiptohadi.
Namun Prof Tjiptohadi dengan jiwa kebapakan beliau terus menyemangati saya. “Bekerja penting, tetapi kuliah juga tidak kalah penting Mas,” saran beliau. “Siap Prof,” jawab saya. Dua tahun kemudian, saya lanjutkan lagi untuk kali kedua kuliah di Magister Akuntansi Unair. Lha koq ndilalah, baru mau masuk semester kedua, di kantor dipromosikan naik jabatan sebagai Redaktur Pelaksana (Managing Editor). Mendampingi Mas Azrul Ananda, putra Bapak Dahlan Iskan, yang diangkat sebagai Pemimpin Redaksi (Pemred) di koran tersebut. Bisa ditebak, kuliah S2 saya kembali berantakan.
Saya bersyukur menjadi wartawan di sebuah media cetak yang cukup berpengaruh saat itu. Sebagai wartawan desk ekonomi bisnis, saya banyak berteman dengan para pengusaha, eksekutif perusahaan, dan juga teman-teman ekonom dari berbagai kampus di Surabaya. Paling banyak tentu saja teman-teman akademisi di Universitas Airlangga, selain juga teman di Ubaya, UK Petra, juga di STIE Perbanas. Dan, ini yang membuat saya semakin bersyukur, banyak sekali teman yang peduli dan baik hati. Setelah Prof Tjiptohadi “gagal” merayu saya menyelesaikan S2, datang tawaran dari teman-teman Unair yang lain.
Saya, oleh Mas Dr Muhammad Nafik (staf pengajar Fakultas Ekonomi Unair) diminta ikut seleksi beasiswa dari Bank Negara Malaysia. Beasiswa untuk kuliah S2 di INCEIF (International Center for Education in Islamic Finance) Kuala Lumpur, Malaysia. “Mas aku duduk (bukan) dosen Unair,” kata saya agak heran koq tawarannya dikasih ke saya. “Wis melok wae, aku sing ngurus,” kata Nafik. Saya ikut seleksi dan wawancara langsung dengan salah satu guru besar dari INCEIF di sebuah hotel berbintang empat di Surabaya. Alhamdulillah saya diterima. Dulu harapannya sih, lulus S2 Islamic Finance langsung ditawarkan bekerja di beberapa bank di Dubai UEA. Mengiurkan. “Sampeyan belajar’o Bahasa Arab pisan, penting kuwi,” pesan Mas Nafik.
Tapi, lagi-lagi saya harus memilih sekolah atau bekerja. Apalagi waktu itu, tahun 2007 saat saya berusia 33 tahun, kembali mendapatkan promosi di kantor menjadi Wakil Pemimpin Redaksi. Dan kantor tidak memberikan banyak pilihan, sekolah atau bekerja. Apalagi kuliah di INCEiF beberapa kelas harus diselenggarakan di Kuala Lumpur. Meski sebagian kelas diselenggarakan di kampus Unair. Dan setelah menjalani satu semester, kuliah dengan beasiswa ini pun saya tinggalkan. Saya memilih bekerja, mengejar karir, yang ternyata tak lama setelah itu harus saya lepaskan. Hingga saya hijrah dan pindah pekerjaan ke Jakarta. Kota yang tak pernah saya impikan sebagai tempat bekerja pun tinggal bersama keluarga.
Kulah S2 keempat adalah di STIE Islam Tazkia, Sentul, Kabupaten Bogor. Namun tidak ada cerita di sini. Iseng saja mendaftar. Saya jalani hanya sampai matrikulasi setelah itu berhenti. Jadi, sejak kuliah S2 pertama hingga hari ini, sudah 19 tahun saya berikhtiar kuliah S2 dan belum sukses hingga hari ini. Hingga akhirnya pekan lalu, dalam usia menjelang 47 tahun, ikhtiar kuliah S2 kelima saya lakukan dan agak sedikit putar haluan. Tidak kuliah pada jurusan ekonomi. Saya mendaftar di Paramadina Graduate School of Diplomacy, Program Studi Magister Hubungan Internasional. Pendaftaran dan test cukup online dan dalam dua hari sejak test sudah ada pengumuman diterima. Meski mungkin menjadi mahasiswa tertua, semoga kali ini saya tidak gagal lagi. Aamiin YRA.
Agak sungkan dan malu, namun saya tetap berterima kasih atas dorongan semangat dari para sahabat seperjuangan lainnya agar saya tetap sekolah. Para sahabat itu antara lain (mohon maaf tidak bisa saya sebut semua): Prof Tjiptohadi Sawarjuwono, Dr Muhammad Nafik, Dr Leo Herlambang (Wakil Rektor Universitas Internasional Semen Indonesia), Dr Imron Mawardi (Wakil Rektor Fakuktas Teknik Unair), Prof Dr Abdul Mongid (Guru Besar STIE Perbanas), Dr Dhimam Abror, Mas Wawali Arif Afandi WakGus Arif Afandi, Dr Indra N Fauzi, Ir Kurniawan Muhammad MSi, Arini Jauharoh SH MHum, Dr Choliq Baya, Dr Danang S Buwana, Dr Agus Sudibyo, Dr Hisnindarsyah Dokter, dan banyak sahabat lainnya. Salut, teman-teman semua adalah sosok yang hebat. Semoga aku bisa meniru jejak langkahmu. Salam sukses barokah.
*Tofan Mahdi, mantan Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos dan Anggota Tim Editor Fellowship Jurnalistik Perubahan Periaku (FJPP)