Tahun 1990-an pemerintah mengadakan program transmigrasi, hidup miskin dan serba kekurangan menjadi alasan bagi warga untuk mengikuti program ini. Tak ada penyesalan bagi mereka setalah transmigrasi dari daerah asal mereka di Pulau Jawa ke Sumatra, kini mereka menjadi petani sawit yang sukses dan berkecukupan, punya rumah gedong dan mobil pribadi.
Sunarto, 48 Tahun. Salah satu transmigran yang sukses bertani sawit di Kabupaten Pelalawan, Riau. “Alhamdulillah, sekarang saya sudah berkecukupan, punya mobil dan bisa menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi,” kata Sunarto.
Kondisi ia sekarang sangat berbeda jauh dengan 20 tahun silam. Kala itu ia kerap dicemooh karena keputusannya untuk bertransmigrasi, ia kerap diolok karena dinilai tidak mampu bertahan hidup di Jawa. “Saya suadah usaha semuanya, pernah menjadi kuli di Jakarta, tapi tetap jauh dari cukup, jadi saya putuskan untuk tinggalkan kampung halaman,†ujarnya. Berbagai tudingan miring tak mengurungkungkan niatnya untuk transmigrasi dan mengadu nasib di daerah terpencil di Pulau Sumatra.
Sejak saat itu, Sunarto menetap di Desa Tasik Juang, Pelalawan, Riau. Awalnya ia menerima satu kavling (2 hektare) yang disediakan pemerintah.
Lahan sawit itu awalnya dikeloloa oleh PT Asian Agri, setelah tanaman sawit berusia empat tahun dan suadah menghasilkan, kebun sawit tersebut mulai diserahkan ke warga transmigrasi. Masyarakat mengelola kebun tersebut melalui sistem Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA) Plasma.
“Kami bekerja sama dengan PT Asian Agri, selama empat tahun pertama kebun tersebut belum diserahkan kepada kami, untuk menambah penghasilan, kami jualan sayur keliling kampung naik sepeda,†ujar Sunarto.
Bermodal kebun plasma seluas 2 hektare tersebut, Sunarto terus mengembangkan kebun sawitnya. Kini luas lahan plasma miliknya mencapai 8 hektare, sementara kebun milik pribadi seluas 12 hektare, total kebun sawitnya 20 hektare.
Kesuksesan lainnya dirasakan Joko, 49 tahun. Transmigran asal Semarang, Jawa Tengah yang merupakan teman seperjuangan Sunarto.
Sama seperti Sunarto, hidup Joko kini telah berkecukupan. “Alhamdulillah saya baru saja beli Kijang Innova Luxury,” ujarnya, tersenyum lebar. Dengan kesabaran dan ketekunan, ia menggarap 2 hektare kebun sawit miliknya, kini ia sudah memiliki 5 hektare lahan plasma dan 8 hektare lahan sawit pribadi.
Tidak jauh berbeda dengan Sunarto dan Joko, di desa Sunarto yang dulu era tahun 1990-an, rumah mereka hanya dinding papan, kini semua sudah disulap menjadi rumah megah. Dan jangan heran, jika di setiap rumah terpakir mobil dari Innova sampai Fortuner.