Di desa Selo, kecamatan Tawangharjo, kabupaten Grobogan didapati sebuah makam yang sampai sekarang masih sangat dikeramatkan. Makam itu tiada lain adalah makam dari Ki Ageng Selo. Seorang tokoh legendaris yang dianggap sebagai cikal bakal (yang menurunkan) raja-raja di Tanah Jawa.
Setiap saat makam itu tak pernah sepi pengunjung. Mereka datang hendak ngalap berkah. Bahkan setiap tahunnya, tepatnya 40 hari setelah peringatan Grebeg Maulud, makam ini selalu dikunjungi oleh abdi dalem, kerabat atau orang “dalam” Keraton Surakarta untuk berziarah.
Menurut juru kunci makam, Raden Ngabehi Diro Harsono, mereka yang ngalap berkah di makam Ki Ageng Selo ini memang aneka tujuan. Ada yang menginginkan agar lekas naik pangkat, mencari kewibawaan, awet muda, dan lain sebagainya. “Kenyataannya, tidak sedikit yang merasa terkabul keinginannya,” ujarnya.
Diro Harsono menambahkan, karena makam Ki Ageng Selo diyakini sebagai makam keramat yang dipercaya bisa mendatangkan berkah, maka setiap peziarah diwajibkan mematuhi persyaratan yang ditentukan. Memasuki kompleks makam, sejak gapura masuk sampai makam Ki Ageng Selo, peziarah harus mencopot sandal atau sepatu.
Mereka harus membaca tahlil yang dipimpin oleh petugas tertentu atau juru kunci. Di depan makam, ada sekitar 10 pohon pace yang menurut cerita warga setempat sudah berumur lebih dari 150 tahun. Buah pace itu dipercaya bisa dipergunakan untuk mendapatkan keturunan bagi wanita yang sudah lama menikah tapi belum dikaruniai anak. Caranya, buah pace itu bisa dimakam langsung atau dibuat rujak terlebih dulu.
“Sudah banyak para peziarah yang mencoba keampuhan dari buah pace ini. Kenyataannya banyak juga yang bisa berhasil,” kata Diro Harsono.
Di belakang makam ada anglo besar yang dipergunakan menyimpan api abadi. Ada kepercayaan yang berkembang di sana, api itu bisa untuk sarana membuat awet muda bagi orang yang ngalap berkah. Caranya, peziarah bisa menggunakan sebatang rokok dan menyulutnya dengan api itu kemudian dihisap kuat-kuat.
Selain itu, masih ada kembang layon. Kembang bekas digunakan untuk nyekar. Menurut kepercayaan yang ada, kembang layon ini bisa digunakan sebagai sarana menambah rezeki, tolak balak, dan lain sebagainya.
Caranya, peziarah mengambil kembang itu di makam lalu dibawa pulang. Kembang itu disimpan di dalam almari atau ditanam di pojok rumah.
Menurut cerita masyarakat setempat, Ki Ageng Selo hidup ketika Islam mulai masuk di Tanah Jawa. Ada seorang wali bernama Abdul Rahman dari Arab angejawa (datang ke Jawa). Setelah lama mengembara akhirnya ia menetap di sebuah desa bernama Selo.
Abdul Rahman ini terkenal dengan sebutan Ki Ageng Selo. Di sana ia mendirikan pesantren, mengajar mengaji, dan menyebarluaskan agama Islam. Suatu ketika Ki Ageng Selo sedang mengajar mengaji kepada santri-santrinya di mushola. Tiba-tiba ia merasa terganggu dengan suara jeritan orang banyak yang sedang ketakutan karena derasnya hujan dan adanya petir yang menyambar-nyambar.
Anehnya, ketika petir itu akan menyambar mushola, dengan cekatan Ki Ageng Selo melompat keluar dan menangkapnya. Selanjutnya petir itu dicincang di pohon gandri yang letaknya tidak jauh dari mushola. Beberapa waktu kemudian petir yang dicincang di pohon gandri itu dipindahkan ke dalam sebuah anglo besar sampai sekarang.
Dan api yang berkobar-kobar dalam anglo itu sampai sekarang ternyata juga dialap berkahnya oleh para peziarah agar bisa awet muda atau berumur panjang. Sedang pohon gandri itu masih hidup, bahkan ada kepercayaan bahwa pohon itu bisa digunakan untuk menangkal petir.
Dalam kepercayaan masyarakat, dengan mengambil sebatang ranting, diletakkan di atas rumah atau ditancapkan di pelataran rumah. irul/jss