Ini cara muda-mudi Suku Malaka Timur mencari jodoh. Mereka menggelar pesta sebulan sekali. Melakukan dansa-dansi, dan dari perkenalan itu kelak mereka berjodoh.
Malam datang. Bulan purnama bersinar terang. Lampu petromax dinyalakan di beberapa sudut tanah lapang. Ada sederet kursi dan meja kayu. Itu sebagai tempat duduk Kepala Suku, tetua adat, dan tentu saya, yang memang datang khusus untuk menghadiri prosesi bulanan ini.
Di meja ini sajian juga lengkap. Terdiri dari pipilan jagung digoreng pakai pasir. Jagung pipilan yang ditanak. Juga jagung utuh yang digodok.
Karena semuanya berbahan jagung, maka selera saya tergelitik ketika di sajian itu ada kue terbuat dari sagu. Apalagi sudah berbulan-bulan saya selalu makan jagung utuh.
Kepala suku yang duduk disamping saya masih tampak cemberut. Agaknya dia masih marah dengan saya. Sore tadi, saya kritisi tradisi non-belis yang tidak menguntungkan gadis-gadis suku ini. Saya tanya, bagaimana kalau lelaki yang mengawini gadis Malaka Timur tidak kuat disuruh kerja keras terus kabur melarikan diri.
Mendengar pertanyaan itu, kepala suku yang dipanggil Kesar dan omongannya tidak pernah dibantah itu memelototi saya. Dia jawab, lelaki itu akan dikejar oleh seluruh suku. Kalau kabur ke Jakarta, misalnya, seperti saya?
“Kita kejar sampai ke ujung dunia, kita tangkap, dan kita bawa pulang,” katanya dengan suara keras.
Biarpun saya meragukan, tapi saya tidak membantahnya lagi. Saya takut akan terjadi sesuatu hanya karena pertanyaan itu. Tapi dalam hati saya bertanya, bagaimana bisa memburu orang yang menyalahi tradisi sampai ke ujung dunia. Ke Kota Kupang yang dekat saja, di tahun itu, tahun 1980-an, jumlah warga suku ini yang pernah ke kota itu hanya bisa dihitung jari.
Sejak itu kepala suku ini tidak pernah mengajak saya bicara. Dan saya tidak berani bertanya-tanya lagi.
******** ********
Di tanah lapang, dari berbagai penjuru berdatangan para jejaka dan gadis-gadis. Yang perjaka semuanya membawa oleh-oleh. Ada yang menenteng kelapa, jagung, buah-buahan, ayam hidup, dan apa saja yang mereka punya. Ini berfungsi sebagai tiket masuk untuk ikut dalam pesta remaja mencari jodoh.
Sebuah lagu cinta yang melankolis didendangkan. Nada lagu itu mirip-mirip lagu Makassar. Maklum, karena suku ini sebenarnya memang bukan suku asli.
Mereka adalah Suku Laut yang dalam legenda ‘sedang mencari ratunya’ dan terdampar di pulau ini. Sama dengan Bugis, Bajo, Sawai, dan suku laut yang lain, yang kemudian tinggal di daratan. Mereka berasal dari akar yang sama, meyakini berasal dari Semenanjung Malaka.
Lagu ria itu diiring gitar, kecapi, kendang yang mereka buat sendiri. Irama rancak bergema, ditimpa sayup-sayup debur ombak dan semilir angin yang memainkan daun-daun pohon kelapa yang hanya kelihatan hitam.
Musik pembuka itu berhenti, disusul kata-kata keras kepala suku yang duduk disamping saya. Setiap akhir kalimat kepala suku ini selalu disambut ‘he’eh’ secara bersama-sama.
Ketika pemandu melirik saya yang tidak ikut mengucapkan jawaban he’eh, dia pun menyikut bahu saya. Dia minta saya mengikuti hal yang sama, menyahuti ucapan kepala suku dengan kata-kata he’eh.
Malam makin larut, acara itu pun usai. Ketika saya tinggal berdua dengan pemandu, saya tanyakan padanya, apa maksud he’eh itu.
Saya juga tanya, kepala suku itu sedang memberi sambutan atau membaca doa. Jawabnya, kepala suku itu sedang memberi sambutan. Dan he’eh itu artinya mengiyakan. Mengamini petuah dari sang tetua, dan saya disuruh ikut ‘mengamini’ seperti yang lain. Nah kata-kata ini yang kemudian belakang hari menjadi masalah. (Habis/Djoko Su’ud Sukahar)