Publik Indonesia, mungkin, tidak banyak yang mengenal sosok satu ini: Ilhan Omar. Di tengah demonstrasi, kerusuhan, dan penjarahan di berbagai kota di Amerika Serikat yang sudah memasuki hari ke-10 sekarang, sosok Ilhan Omar kembali menjadi perhatian. Selama empat hari, secara diam-diam, wanita berhijab ini bergabung dengan masyarakat dalam unjuk rasa damai di kota Minneapolis, negara bagian Minnesota. Kota tempat di mana dua pekan sebelumnya seorang warga kulit hitam bernama George Floyd tewas karena di-“dengkul” lehernya oleh seorang polisi kulit putih dibantu tiga orang polisi lainnya. Kasus rasisme yang memicu unjuk rasa dan kerusuhan hebat di berbagai kota di Amerika hingga hari ini.
Publik pun akhirnya mengenali bahwa salah satu yang ikut dalam unjuk rasa tersebut adalah sosok yang tidak asing bagi warga kota Minneapolis maupun warga kota-kota lain di Minnesota. Dia adalah Ilhan Omar, anggota Kongres dari Partai Demokrat yang mewakili negara bagian Minnesota. Ilhan Omar sukses berkantor di Capitol Hill sejak tahun 2016 dan menjadi satu dari dua wanita Muslim yang saat ini menjadi anggota DPR Amerika Serikat. Satu wanita Muslim lagi yang menjadi anggota Kongres adalah Rasidha Tlaib, juga dari Partai Demokrat, yang mewakili negara bagian Michigan. Inilah kali pertama dalam sejarah politik AS ada dua orang Muslimah yang duduk menjadi anggota Kongres. Kemajuan dalam peradaban politik di Amerika? Belum tentu. Justru bisa menjadi kejumudah bangsa Amerika, apalagi baru setelah 244 tahun Amerika merdeka, kursi Kongres AS bisa diisi oleh seorang Muslimah.
Dibandingkan dengan Rasidha Tlaib, kisah perjalanan dan perjuangan hidup Ilhan Omar hingga sukses menjadi anggota Kongres, jauh lebih dramatis. Jika Rasidha adalah seorang keturunan Palestina yang lahir dan besar di AS, Ilhan Omar adalah wanita kelahiran Mogadishu Somalia dan selama bertahun-tahun menjadi pengungsi hingga mendapatkan tempat suaka di Amerika Serikat. Kehadiran Ilhan Omar dan Rasidha Tlaib memang menjadi oase dalam dinamika politik Amerika. Sekaligus menjadi “faktor pembukti” bahwa Amerika adalah tanah impian bagi siapa saja, dari mana saja, pun dari ras maupun agama apa saja. Namun tidak mudah menjadi seorang Ilhan Omar atau Rasidha Tlaib. Karena seperti pengakuan Ilhan dalam berbagai wawancara di televisi, dia telah dan akan selalu berada dalam prioritas utama sasaran perundungan publik maupun politisi Amerika yang anti akukturasi dan kemajemukan. Yang masih memegang mitos “white supremacy”. termasuk menjadi sasaran perundungan dari Presiden Donald Trump sendiri.
“Saya adalah impian rakyat Amerika, tetapi saya juga menjadi mimpi buruk bagi Presiden Amerika (Donald Trump),” kata Ilhan.
Oleh mereka yang rasis, Ilhan Omar juga dituduh rasis. Salah satu isu yang paling sering dituduhkan kepada dia adalah antisemitism (sikap diskriminasi dan prasangka terhadap kaum Yahudi). Namun, bagi Ilhan, itu adalah omong kosong dan upaya menjatuhkan reputasi dia di mata publik Amerika.
“Antisemitism dan Islamophobia adalah seperti dua gambar dalam sekeping uang logam. Tidak bisa terpisahkan. Dan saya akan memerangi keduanya,” kata Ilhan.
Apapun, sukses Ilhan Omar dan Rasidha Tlaib adalah seberkas cahaya di tengah kegelapan diskriminasi dan sikap patriarki yang masih kuat di Amerika. Kita memang bisa menjadi apa saja di Amerika, namun perjuangan untuk menjadi setara itu tidak mudah dan nyawa taruhannya. Ilhan Omar pun sering menerima ancaman pembunuhan. Namun layar sudah terkembang, pantang surut ke belakang. Sejarah akan mencatat, apakah Amerika akan benar-benar menjadi tanah impian bagi semua orang. Atau mereka akan mundur dan masuk kembali ke dalam perdaban yang penuh kegelapan.(*)