Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu yang dipimpin oleh pakar komunikasi Effendi Gazali. Dengan putusan ini, pemilihan umum untuk legislatif dan pemilihan presiden dilakukan serentak mulai Pemilu 2019. “Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019,” kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva ketika membacakan amar putusan di Mahkamah Konstitusi pada Kamis (23/1/2014).
Permohonan yang diajukan Effendi ini sempat menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan karena efeknya yang dinilai akan berpengaruh besar terhadap penyelenggaraan pemilu. Terlebih lagi, waktu penyelenggaraan pemilu legislatif tinggal tersisa sekitar dua bulan lagi. Selain itu, permohonan ini membutuhkan waktu satu tahun untuk dikabulkan MK. Tapi, setelah beberapa kali disidangkan, sidang putusan tak kunjung digelar. Sebetulnya, mantan Ketua MK Mahfud MD mengatakan, MK telah memutuskan hasil gugatan UU Pilpres itu dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) sebelumnya tapi baru dibacakan sekarang.
Dalam pandangan Effendi Gazali dan kawan kawan, Pemilu legislatif dan Pilpres yang terpisah itu tidak efisien dan merugikan hak konstitusional pemilih. Dia mengusulkan agar pelaksanaan pemilu dilakukan secara serentak dalam satu paket dengan menerapkan sistem presidential cocktail dan political efficasy (kecerdasan berpolitik).
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi berpendapat dengan keputusan pemilu serentak, diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan pilpres dan pileg secara serentak. Berdasarkan Pasal 22E Ayat (6) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut tentang pemilu haruslah diatur dengan undang-undang.
Jika aturan baru dipaksakan untuk dibuat dan diselesaikan demi menyelenggarakan pemilu serentak tahun 2014, jangka waktu yang tersisa sekitar dua bulan tidak memungkinkan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif. “Jika pemilu serentak dilaksanakan tahun 2014 dapat menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum,” kata Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Mahkamah berpendapat, memang diperlukan waktu untuk menyiapkan budaya hukum dan kesadaran politik yang baik bagi masyarakat, maupun partai politik, untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan agenda penting ketatanegaraan.
“Menurut Mahkamah, penyelenggaraan pilpres dan pemilu anggota lembaga perwakilan tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional,” demikian bunyi keputusan MK.