Oleh :
Agam Zuama
Mahasiswa Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Dati Bandung
Beberapa peneliti yang berasal dari negara bagian barat telah mengemukakan beberapa bentuk yang menjelaskan daripada pengertian Materialis secara lengkap, menurut Inglehart (dalam Ahuvia & Wong, 2002), bahwa materialis lebih mengutamakan terhadap pencapaian kepemilikian benda dan harta kekayaan yang lebih mengutamakan nilai yang berdasar kepada hal materi namun berbanding terbalik dengan sikap individu yang secara harfiah lebih mengutamakan kepada hal non-materi seperti kualitas hidup, pencapaian diri, peningkatan moral diri serta nilai nilai yang dijunjung tinggi, hal tersebut dapat dikatakan sebagai Post-Materialisme.
Dalam bahasan mengenai citra aktor politik tidak akan pernah lepas daripada hal yang berhubungan dengan pandangan yang baik terhadap masyarakat, baik dalam kegiatan politik, sosial, budaya dalam kehidupan masyarakat selalu dikaitkan dengan budaya daripada aktor politik, sehingga masyarakat akan memandang secara baik terhadap kegiatan politik, semua berkaitan dengan paham Post-Materalisme yang hampir sama dengan kajian dialetika Sosialis yang dikemukakan oleh Karl Marx ataupun beberapa tokoh berpemahaman kiri, semua nya disangkutkan dengan sikap yang lebih mementingkan nilai yang ada dalam diri dan menyampingkan masalah materi yang lebih mengutamakan kekayaan. Pejabat yang notabene adalah kader yang berada dalam partai politik membangun citra yang baik sehingga aktivitas budaya politik dapat terbangun dalam pandangan yang baik (Halking, 2008).
Beberapa citra aktor politik menjadi perhatian dan sorotan karena mereka lebih mengutamakan kepercayaan rakyat kepada dirinya dalam mengemban amanah dan tugas sehingga dari dalam diri para pejabat mulai terlihat dalam terpilihnya menjadi pemimpin di daerahnya dalam cakupan yang cukup luas memanfaatkan sesuatu yang menjadi tanggunganya untuk pemeliharaan diri dan mengutamakan kepentingan kelompok dalam hal ini masyarakat Indonesia (Enny, 2015). Dalam kajian yang lain pula bahwa citra politik hanya menjadi sesuatu yang bersifat pencitraan yang bersifat permanen sehingga dalam kaitan kenegaraan membuat pandangan yang kurang baik terhadap kinerja pejabat di daerah ataupun tingkatan nasional, semua menggunakan pandangan yang sama dalam melihat aktivitas politik.
Dalam kajian legislasi Indonesia bahwa setiap kebiasaan politik di masyarakat sendiri yang mengantarkan mereka menggunakan kebiasaan dengan hal yang diterapkan tiap hari menghasilkan budaya politik yang sama saat mereka memegang suatu jabatan, perbedaan latar daripada aktor politik membuat membuat pandangan yang berbeda dalam menggunakan analisnya karena anggota dewan di Indonesia masih menggunakan sikap Materialis dalam permasalahan kolusi, Korupsi serta Nepotisme yang masih terus terjadi dan melibatkan aktor politik sehingga menjadi wajar melihat kebiasaan para pejabat dalam menggunakan sesuatu yang bersifat Materi daripada melihat hal Non-Materi (Annaningsih, 2016).
Peran serta anggota dewan tidak lepas daripada etika legislator yang dibentuk menyangkut dengan kepercayaan masyarakat yang mulai berkurang kepercayaan kepada anggota legislatif di pemerintahan. Dilain hal pun dalam waktu kurun terakhir banyak kejadian yang melibatkan adanya bentuk ketidaksesuian yang menyangkut terjadinya demo dan unjuk rasa diberbagai wilayah di Indonesia.
Tapi tidak melepas kemumgkinan bahwa daripada dampak negatif yang muncul daripada etika legislator di Indonesia, membuat kebiasaan yang baik muncul daripada dalam diri pejabat yang dikatakan sudah mencapai hal materi yang tinggi menimbulkan pengaruh menjadi melihat yang bersifat non-materi. Seperti contohnya meningkatnya kepedulian dari pemerintah untuk rakyatnya dengan berdasar kepada sifat Humanisme yang tinggi. Semua tidak dapat dihindari bahwa kebutuhan yang panjang telah didapatkan mengantarkan individu yang tadinya melihat kepada pencapaian kekayaan berubah menjadi peningkatan kualiatas hidup sendiri dan orang lain (Sonit, 1985).
Nilai yang ada dalam diri masyarakat juga berkembang menjadi Post-Materialis yang kemudian akan berubah lama-lama menjadi peningkatan individu yang berdasarkan Sosialis dan nilai luhur yang secara berbarengan berkembang membuat pemahaman yang baik terhadap masyarakat sehingga dalam kajian Post—Materialis menjadi sangat terlihat karena faktor kepercayaan yang melihat pemerintah sudah bekerja dengan baik (Kasser, 1993).
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa peran anggota legislatif harus bisa menyesuaikan keinginan khalayak umum dan bukan mementingkan kepentingan pribadi ataupun suatu golongan sehingga kesesuian antara etika legislator dapat memberikan dampak yang baik kedepanya untuk kemajuan demokrasi dan juga kemajuan bangsa Indonesia dalam menghadapi dunia yang terus berkembang, dan bersama-sama mengawal sistem legislasi di Indonesia lebih baik lagi.