Penerapan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut akan timbulkan potensi kerugian Rp 103 triliun perdaur tanam dan PHK sekitar 300.000 tenaga kerja.
Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nana Suparna juga mengatakan kawasan hutan terlantar bertambah 2,5 juta hektar, sehingga kerusakan hutan bertambah besar, pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah terganggu begitu juga dengan peran sosial industri HTI/kayu. “Hutan tanaman industri (HTI) yang aktif akan berkurang tinggal 27 persen saja, karena 60 persen dari HTI yang beroperasi adalah HTI gambut,†kata Nana.
Nana menambahkan, usaha perkebunan masyarakat di lahan gambut juga akan berhenti dan yang terberat, devisa dari pulp dan kertas sebesar 5,4 miliar dolar AS/ tahun dari produksi 16,8 juta ton akan hilang. Minat investor juga terganggu akibat ketidakpercayaan investor terhadap pemerintah yang kebijakannya tidak konsisten.
APHI menduga, lanjutnya, ada tekanan terhadap pemerintah untuk segera menandatangani dan menerapkan RPP Gambut ini.
“APHI merasa saat ini mendapat serangan dari ‘empat penjuru angin’, yaitu pasar (pemasaran), manajemen bisnis, lahan yang banyak dikuasai asing dan banyaknya pungutan,†ujar Nana.
Karena itu, lanjutnya, APHI berharap, pemerintahaan baru yang dipimpin Jokowi-JK meninjau ulang RPP Gambut ini untuk diperbaiki, karena pembuatannya tidak sesuai dengan norma/peraturan hukum yang baru dan berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan serta tidak akan efektif dalam implementasinya.
Pembicara lainnya Ruslitan, Wakil Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mengatakan pengusaha pulp dan kertas juga akan terkena imbasnya, karena akan sulit mendapatkan bahan baku dan memasarkan hasil produksi. “Banyak peraturan yang dibuat asing dan pemerintah sendiri, sehingga sudah banyak pabrik kertas yang tutup dan tidak bisa bayar gaji karyawan,†kata Rusli.