JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim sejumlah perusahaan asing sudah berkoordinasi dan mengirimkan confidentiality agreement kepada Kementerian Kesehatan untuk pengadaan vaksin Covid 19, seperti Pfizer dan Johnson & Johnson.
“Ini menunjukkan pemerintah sudah bekerja sama dengan berbagai institusi yang melakukan riset dan pengembangan dalam rangka persiapan mendapatkan aksen vaksin. Untuk roadmap vaksinasi, pemberiannya akan diprioritaskan untuk (mereka yang bekerja di) garda terdepan, misalkan memberi pelayanan kesehatan, selanjutnya juga untuk penerima bantuan BPJS Kesehatan, kemudian dipersiapkan juga vaksin mandiri,” ucapnya lewat keterangan tertulisnya, Jakarta, Senin (28/9/2020).
Pemerintah juga selalu menjaga stok ketersediaan obat yang terkait COVID-19 di dalam negeri, seperti Oseltamivir, Klorokuin, Azythromicin, dan Favipiravir.
“Kalau untuk standar harga tes PCR, pemerintah sedang mengkaji laporan BPKP; ada harga yang direkomendasikan untuk individual dan kelompok,” imbuhnya.
Airlangga jug mengatakan Dalam hal perkembangan dan persiapan pelaksanaan vaksinasi, tengah disiapkan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Pengadaan dan Distribusi Vaksin COVID-19, Roadmap Pelaksanaan Vaksinasi, serta pembuatan Dashboard Tracing Vaccine Program.
“Dashboard tersebut untuk melacak siapa yang mendapatkan vaksin dan bagaimana efektivitas pelaksanaan vaksinasi di lapangan. Perhitungan total kebutuhan anggaran untuk vaksin adalah sebesar Rp37 triliun untuk periode 2020-2022, dengan estimasi uang muka Rp3,8 triliun pada 2020 ini. Sementara, dalam RAPBN 2021 telah dialokasikan sebesar 18 triliun untuk program vaksinasi,” ujarnya.
Terakhir, terkait pertumbuhan ekonomi, pemerintah menyatakan akan selalu mendorong pertumbuhan berada pada jalur tren positif. Untuk Program PC-PEN, realisasi anggarannya telah mencapai Rp268,3 triliun atau 38,6 persen dari pagu (Rp695,2 triliun).
“Untuk penyerapan sudah naik 29,5 persen sejak akhir semester I kemarin. Namun, ada beberapa hal yang perlu didorong dari sektor korporasi karena serapan masih rendah, baik melalui Himbara maupun Perbanas. Jadi, ini masih akan direvisi karena serapan tidak seperti yang diharapkan,” pungkasnya. []