Retaliasi atau tindakan balasan terhadap diskirminasi komoditas sawit di Uni Eropa yang digagas Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita bisa menjadi pilihan bagi Indonesia. Tindakan ini diambil unutk membalas diskriminasi Eropa terhadap minyak sawit sebagai komoditas andalan Indonesia.
“Harus ada retaliasi terhadap upaya Uni Eropa menghambat produk-produk dari Indonesia,” kata Eko Listiyanto, ekonom INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) di Jakarta awal pekan ini.
Diskriminasi terhadap minyak sawit tidak lain upaya Uni Eropa untuk melindungi produk minyak nabati yang mereka hasilkan. Minyak nabati yang dihasilkan Eropa ternyata tidak mampu bersaing dengan CPO yang memiliki tingkat produktivitas lebih tinggi, sehingga lebih efisien.
“Secara kasat mata produktivitas CPO kita lebih tinggi dari bunga matahari, rapeseed atau kedelai dan lain-lain dari mereka,” katanya. Karena itu, retaliasi perdagangan perlu dilakukan meski menimbulkan kerugian kedua pihak. Tapi, jika tidak dilawan Eropa makin semena-mena. “Kalau kita diam, nanti makin menjadi,” katanya.
Retaliasi bisa menjadi sinyal bagi Eropa kalau Indonesia sanggup melawan. Produk yang diretaliasi bukan produk berteknologi tinggi, tapi cukup produk makanan dan minuman. Eko juga menegaskan perlunya langkah untuk melakukan perlawanan lunak.
Sementara itu, Direktur Eksekutif APINDO, Danang Girindrawardana mengungkapkan apresiasi terhadap keberanian pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan. Seruan untuk melakukan balasan kepada Uni Eropa yang mencekal sawit dan produk turunannya lewat retaliasi, dinilai sebagai langkah proteksi.
“Setuju. Toh dengan produk yang diretaliasi itu Indonesia masih memiliki negara lain yang lebih bersahabat dengan Indonesia untuk mendapatkan penggantinya,” katanya.