DPR mendukung upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk merevisi PP No 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengolaan Ekosistem Gambut. Revisi aturan itu akan mendorong produktivitas masyarakat dan menggerakan perekonomian daerah.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Firman Subagyo mengatakan, sudah semestinya pemerintah mendengar aspirasi masyarakat dan bila PP Gambut tidak direvisi sikap pemerintah justru patut dipertanyakan. “Revisi aturan tersebut akan memberi dampak positif bagi produktivitas masyarakat dan menggerakkan perekonomian daerah, sudah kewajiban pemerintah untuk mengutamakan upaya tersebut,†kata Firman Soebagyo di Jakarta, Selasa (30/12).
Menurut dia, di tengah kondisi perlambatan perekonomian nasional, peran pemerintah perlu dioptimalkan dengan menggerakkan perekonomian daerah. Regulasi dan aturan yang menghambat perlu di tata ulang untuk menyelamatkan perekonomian nasional. “Dengan potensi sumber daya kehutanan yang melimpah, seharusnya pemerintah dapat mengarahkan potensi tersebut sebagai pendorong dan penopang perekonomian nasional. Bukan sebaliknya, pemerintah justru menghambat pengembangan potensi sumber daya kehutanan,†kata Firman.
Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Manggabarani menuturkan, revisi PP Gambut harus segera dilakukan karena aturan tersebut akan diberlakukan Mei 2015. “Kami dari enam organisasi dan asosiasi sebenarnya sudah lama mengapresiasikan revisi aturan tersebut, sejak 12 November 2014,†papar dia.
Menurut Achmad, enam organisasi dan asosiasi yang terdiri atas FP2SB, APHI, APKI dan GAPKI, telah meminta pemerintah merevisi pasal 9 ayat 3 dan 4 serta pasal 23 ayat 3 dari PP Gambut tersebut. Salah satu poin yang diminta untuk direvisi adalah penetapan muka air lahan gambut yang mana dalam PP itu ditetapkan 0,4 meter. “Kami minta pasal itu direvisi menjadi minimal 1 meter seperti aturan sebelumnya, sehingga memungkinkan lahan gambut ditanami tanaman dan produktif bagi masyarakat,†kata dia.
Achmad Manggabarani menilai, apabila aturan itu tidak direvisi, aturan tersebut akan mematikan pengembangan budidaya tanaman di daerah. “Revisi aturan itu dapat membantu pengembangan budidaya tanaman oleh masyarakat setempat. Akibat lanjutannya, perekonomian masyarakat daerah akan tumbuh dan menopang perekonomian nasional,†jelas dia.
Sebelumnya, Kementerian LHK akan merevisi salah satu pasal dalam PP Gambut yang memuat tentang penetapan muka air lahan gambut miimal 0,4 meter. Meski direvisi, pemberlakuan PP gambut tersebut tetap akan diberlakukan mulai Mei 2015.
Menteri LHK Siti Nurbaya mengakui adanya aksi protes dari para pengusaha di sektor LHK atas terbitnya PP Gambut itu. Para pengusaha umumnya menolak penetapan muka air lahan gambut sedalam 0,4 meter dalam PP yang merupakan turunan dari UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH tersebut. “Banyak yang memprotes, kami akan lihat dulu, segera disiapkan dan dibahas, kemungkinan besar ada direvisi†kata Siti.
Siti Nurbaya mengungkapkan, penetapan muka air lahan gambut 0,4 meter sebenarnya telah dipertimbangkan dengan matang oleh para ahli. Karena itu, Kementerian LHK juga akan melihat apakah angka 0,4 meter tetap bisa diberlakukan dengan melakukan modifikasi sistem tata air di lahan gambut, dan sebaliknya angka tersebut direvisi, “Harus dipelajari dulu, banyak ahli yang bsia dilibatkan untuk membahas angka tersebut. Kami juga akan sampaikan bahwa meskipun akan direvisi, pemberlakuan PP Gambut tetap dimulai Mei 2015,†ungkap dia.
Lebih jauh Siti menyatakan, hingga saat ini tidak ada izin baru untuk pemanfaatan area lahan gambut. Kementrian LHK tetap memprioritaskan perusahaan sektor LHK yang sudah terlebih dahulu memanfaatkan lahan gambut sebagai area tanam kebun dan telah memenuhi syarat lestari lingkungan. “Kami juga sedang melakukan tinjauan karena industri yang terimbas PP Gambut tidak hanya kayu, tapi juga minyak kelapa sawit. Kami juga tidak mau perusahaan itu mati karena PP Gambut tersebut,†ungkap dia.
Kementerian LHK mencatat, saat ini luas lahan gambut mencapai 14 juta ha, sementara luas lahan gambut yang bisa digunakan untuk budidaya seluas 7 juta ha. Saat ini, lahan gambut yang tersisa belum digunakan untuk budidaya ssekitar 3,6-4 juta ha. Tercatat juga saat ini sekitar 1,7 juta ha lahan dari luas lahan gambut yang dimanfaatkan sebagai areal perkebunan minyak kelapa sawit dan seluas 1,7 juta ha untuk hutan tanaman industri.