JAKARTA – Pemerintah harus berhati-hati dalam melakukan penegakan hukum terkait kebakaran lahan dan hutan. Membekukan dan menutup usaha HTI (hutan tanaman industri) dan kelapa sawit secara sembarangan bisa memicu masalah baru yaitu pengangguran. Saat ini saja, lebih dari 20 juta jiwa menggantungkan hidupnya dari industri kelapa sawit.
“Yang terkait langsung baik sebagai petani, pekerja, maupun mereka yang ikut dalam mata rantai industri kelapa sawit sudah hamper 6 juta orang. Kalau per orang menghidupi tiga anggota keluarga, berarti lebih dari 20 juta jiwa hidup dari sector kelapa sawit. Belum kita hitung yang dari sector HTI,” kata pengamat kehutanan IPB Ricky Avenzora dalam seminar yang diselenggarakan ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) di Jakarta, Rabu (5/11).
Ricky mengatakan, saat ini korporasi menjadi pihak yang paling sering disalahkan dalam kasus kebakaran lahan. Padahal, korporasi sudah melakukan upaya terbaik untuk mencegah terjadinya kebakaran dan mengikuti aturan perundangan dengan melakukan pembukaan lahan tanpa pembakaran.
“Kebakaran hutan ini menyebabkan persaingan bisnis yang tidak sehat. Belum tahu pelakunya sudah ada ancaman pencabutan izin. Ini persaingan bisnisnya sudah sangat keras,” jelas Ricky.
Menurut dia, yang harus dilakukan saat ini adalah tidak saling menyalahkan, tetapi mencari penyebabnya dan akara masalah kebakaran lahan ini. Karena, pada kenyataannya, ribuan hektar areal konservasi seperti taman nasional yang dikelola oleh pemerintah juga terbakar.
Menurutnya, kebakaran ini memang terjadi hampir setiap tahun. Namun, untuk tahun ini diperparah dengan siklus 15 tahunan. Pada 1997-1998 juga pernah terjadi hal yang sama. “Yang jadi pertanyaan kenapa pemerintah tidak aware soal siklus ini. Kenapa tidak ada yang teriak,” sambungnya.
Di tempat yang sama, pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengatakan, kebakaran hutan yang terjadi akan berdampak pada target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasalnya, penyumbang devisa ekspor yaitu industri pulp dan kertas serta sawit kinerja usahanya terdampak oleh kasus kebakaran lahan ini.
“Kebakaran ini berdampak pada industri pulp dan kertas. Target perekonomian saya ragu bisa 4,7%. Ekspornya juga bakal di bawah target,” ujarnya.
Turunnya ekspor, kata dia, diperparah dengan adanya boikot dari Singapura terhadap 12 produk kertas Indonesia. “Target ekspor kita dengan adanya kebakaran hutan akan sulit mencapai target,” tambahnya.
Dia juga menyayangkan, penyataan pemerintah yang mengatakan ada ratusan perusahaan yang menjadi tersangka. Tapi, sampai saat ini belum dibuka siapa saja pelakunya oleh pemerintah. Dengan kondisi yang tidak pasti ini, kata Faisal membuat persaingan perusahaan pulp dan kertas di lapangan saling menghancurkan dengan kampanye negatif menuding sebagai pelaku kebakaran hutan.
“Ini kesempatan menghancurkan kompetitor perusahaan saingan. Orang jadi bertanya-tanya ini kena nggak ya, itu kena nggak ya,” jelasnya.
Karena itu, menurut dia, seharusnya terkait hukum jangan disebut jika belum pasti. Dia juga menyayangkan, masyarakat juga jadi tersangka kebakaran hutan. Padahal, mereka membakar hutan dibolehkan oleh undang-undang lingkungan hidup. “Ini pukul rata semua. Perusahaan yang baik kena juga. Padahal tidak bakar hutan. Ini juga terjadi di perusahaan sawit,” lanjutnya.
Menurut Faisal, semakin besarnya kebakaran hutan karena pemerintah lamban dalam memadamkan. Pemerintah baru turun ketika sudah banyak yang menjadi korban. “Alasan mereka tunggu dari daerah tetapkan bencana. Masa kalau sudah lintas provinsi masih didiamkan. Apalagi lintas negara,” tukasnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha hutan Indonesia Purwadi mengatakan, akibat kebakaran hutan ini pasokan kayu hutan tanaman industri (HTI) kuartal III turun 29% menjadi 6,56 juta meter kubik (M3) dibanding kuartal II sebesar 9,26 juta M3. Pasokan yang berkurang berasal dari daerah bencana kebakaran hutan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Akibat terhambatnya kegiatan operasional ini, terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja dari jumlah 1 juta tenaga kerja langsung dan tidak langsung. Termasuk terhentinya kegiatan oleh mitra kerja HTI. “Devisa ekspor pulp dan kertas turun dari saat ini USD5,6 miliar per tahun,” jelasnya.
Kondisi ini, juga berdampak kepercayaan perbankan akibat publikasi masif yang menuding HTI sebagai pelaku pembakaran hutan. “Harusnya mafia yang ditangkap, bukan kami perusahaan yang justru dirugikan juga,” tukasnya.(*)