JAKARTA – Penelitian dari Harvard TH Chan School of Public Health AS yang menyebutkan korban tewas akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia mencapai 100 ribu orang, adalah pelecehan Amerika terhadap pemerintahan Indonesia. Namun demikian, penelitian semacam ini bisa muncul akibat kesalahan pemerintah Jokowi sendiri yang terlalu dekat dengan LSM lingkungan yang membawa kepentingan Negara Barat.
Pengamat kehutanan dan lingkungan IPB, Dr Ricky Avenzora, mengatakan publiksi Harvard TH Chan School of Public Health tersebut jelas sangat merendahkan Presiden Jokowi. Ini juga bagian dari strategi mereka untuk menghajar Indonesia dari segi lingkungan, tentu saja demi kepentingan Amerika sendiri dan sekutunya Eropa. “Penelitian itu juga menjadi indikator penting tentang semakin hilangnya integritas akademisi dalam percaturan konspirasi ekonomi global,” Ricky di Jakarta.
”
Pekan lalu, dalam jurnal yang dipublikasikan Harvard TH Chan School of Public Health, disebutkan Indonesia menanggung risiko yang sangat besar dari kebakaran. “Dan program mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terbukti gagal,” kata Shannon N. Koplitz, peneliti Harvard yang mempublikasikan hal tersebut dalam Enviromental Research Letter. Dalam melakukan penelitian ini, Harvard juga bekerjasama dengan Columbia University.
Ricky berpendapat, angka 100 ribu korban meninggal bukan hanya hiperbolis dan sensasional , tetapi sulit dipertanggujawabkan kebenarannya. Fakta yang bersifat co-incidently berupa kematian penduduk dalam periode Karhutla 2015 merupakan fakta yang tak bisa diitampik. Hanya saja, penyebab kematian perlu dibedakan antara kematian alami, kematian yang bersifat kausalitas, dan kematian yang bersifat korelitas.
Pendapat senada dikemukakan Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor Dr Dodik Ridho Nurrochmat, Menurut Dodiek, penelitian tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan karena tidak memiliki indicator yang jelas. “Kalau karhutla sebelumnya, bisa berdampak pada kematian 80 ribu atau 90 ribu orang itu masuk akal. Ini angka 100 ribu dari mana. Janga-jangan a kematian akibat sebab lain yang tidak berhubungan dikaitkan dengan karhutla. Ini lebih mirip kampanye hitam dibandingkan peneilitian.”
Ricky yang juga Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB menambahkan, Indonesia perlu menantang Harvard untuk menunjukan validitas dan reliabilitas metode yang dipakai dalam mengambil kesimpulan tersebut. “Kita juga mempertanyakan motif Harvard. Dari sini, kita bisa mengenali siapa para akademisi, “produser” serta “sutradara” dari sandiwara serta kebodohan akademis yang mereka lakukan untuk memojokan Indonesia itu.”
Dua akademisi tadi menyayangkan, sikap pemerintah yang terlalu manut kepada Amerika Serikat, ternyata juga tidak menguntungkan bagi Indonesia dalam konstelasi politik dan ekonomo global.(KO)