Pemerintah sukses merenegosiasi kontrak harga jual gas Tangguh ke Fujian-Tiongkok dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi sekitar US$ 8 per mmbtu. Harga terbaru ini berlaku mulai 1 Juli 2014 dan menghapus harga patokan Japan Crude Cocktail (JCC) price. “Jadi harga gasnya tidak dipatok hanya US$ 8 per mmbtu saja, tapi bisa naik-turun seiring harga minyak JCC,” kata Menteri ESDM Jero Wacik di Jakarta pada Selasa (1/7/2014).
Penjualan gas dari lapangan Tangguh di Papua dilakukan sejak 2002 dengan harga murah. Penjualan gas dengan harga US$ 2,4 per mmbtu pada 2002 itu tidak bisa dinaikkan meski harga minyak sudah melambung tinggi. Operator lapangan gas ini tidak lain BP (British Petroleum) dengan masa kontrak hingga 2034. Totalnya mencapai 40 kargo per tahun. “Jadi sampai tahun 2034, itu kontrak Tangguh,” katanya.
Jero menyebutkan, kala itu harga gas ekspor yang ditetapkan mengacu pada Japan Crude Cocktail (JCC) atau harga acuan minyak Jepang. Namun demikian, masalah timbul lantaran pada penetapan harga acuan tersebut, dipatok harga maksimal JCC US$ 26 per barel. Akibatnya harga itu bertahan selama masa kontrak sehingga dianggap kemurahan. Apalagi harga JCC semakin meningkat.
Jero Wacik mengatakan proses renegosiasi ini berjalan alot karena banyak faktor. “Sebelum ke Beijing, saya ditakuti kalau Presiden CNOOC (China National Offshore Oil Corporation) Mr. Wan itu dingin, sehingga pasti gagal renegosiasi,” katanya. Tapi, dia optimistis karena sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Tiongkok Xi Jinping sudah bertemu dan menyatakan bersedia renegosiasi.
“Ketika bertemu di Beijing, saya dengan presiden CNOOC, saya ceritain dulu bahwa sejak abad k3-7 bagaimana kejayaan Sriwijaya dan Majapahit bersahabat dengan Tiongkok, bagaimana utusan China Putri Campa dan Laksama Ceng Ho masuk ke Indonesia pada abad 14, kita saling berkunjung, jadi sudah seharusnya bersahabat juga dengan merenegosiasi kontrak ini,” tutur Jero. Presiden CNOOC akhirnya luluh juga dan bersedia merenegosiasi.