Jakarta – Uni Eropa (UE) secara resmi sudah mengesahkan Undang-Undang (UU) Produk Bebas Deforestasi (Deforestation Free Product) baru yang disetujui pada 6 Desember 2022 lalu. Produk-produk seperti sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, daging, sampai produk turunannya yang masuk UE termasuk Indonesia, harus diuji tuntas bebas deforestasi terlebih dahulu terkhusus tahun tanam 2020 ke atas.
Berbagai kalangan mengatakan, UU UE ini mestinya menjadi momentum bagi Indonesia untuk berbenah dalam memperbaiki berbagai komoditas unggulannya. Namun bagi petani sawit justru memandang aturan tersebut semakin menandakan bahwa UE tidak bisa lepas dari kebutuhan minyak sawit, hanya caranya berbeda. Anggapan dari petani sawit ini sangat beralasan karena secara statistik, ketika minyak sawit semakin “diamuk” oleh UE melalui berbagai aturan, disaat yang bersamaan pembelian minyak sawit oleh UE malah makin meningkat.
Menurut catatan PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute) bahwa negara-negara UE sejak tahun 2000 semakin meningkat konsumsi minyak sawitnya yang secara berangsur menggantikan peran besar rapeseed bahkan semakin signifikan sejak tahun 2010. Hal ini dapat dilihat dari volume dan pangsa konsumsi minyak sawit yang mengalami peningkatan dari 4,7 juta ton (24 persen) menjadi 6,7 juta ton (29 persen) pada periode 2010-2021. Yang tidak kalah menarik adalah preferensi masyarakat UE telah berubah yaitu lebih menggemari minyak sawit yang ditandai dengan penurunan konsumsi minyak rapeseed yang merupakan minyak nabati utama yang diproduksi UE.
Melihat kondisi saat ini dan dampak dari aturan ketelusuran dari UE, Swiss Economic Cooperation and Development (SECO), Kedutaan Besar Swiss di Indonesia sedang melakukan pengamatan tentang dampak dari aturan UE terhadap sawit Indonesia, terkhusus dari sisi petaninya. Swiss SECO merupakan salah satu lembaga pemerintah Swiss untuk kebijakan ekonomi dan kerja sama pembangunan ekonomi yang telah mendukung Kementerian Keuangan melalui Public Financial Management Multi-Donor Trust Fund (PFM MDTF) yang diimplementasikan pada beberapa program.
Untuk mengetahui dampak aturan tersebut, Kedutaan Besar Swiss untuk Indonesia mengundang stakeholder sawit untuk berdiskusi di Jakarta, pada (30/1). Pertemuan itu dihadiri oleh DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) dan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia).
Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Gulat ME Manurung, MP.,C.IMA dan Djono A Burhan, S.Kom.,M.Mgt (IntBus), CC,CL, Bidang Hubungan Internasional DPP APKASINDO hadir secara langsung mewakili Petani Sawit. Dari GAPKI diwakili oleh Dr. Fadhil Hasan dan Sumarjono Saragih. Sedangkan dari Perwakilan Swiss dihadiri oleh Head of Swiss Economic Cooperation and Development (SECO), Philipp Orga dan Martina Locher, Program Manager Trade Promotion Unit, SECO Bern.
Topik yang hangat dibicarakan dalam pertemuan bersama stakeholder sawit itu antara lain fokus dari masyarakat Swiss terkait regulasi UE yang melarang impor sawit, keberlanjutan pengelolaan sawit melalui sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System), dan isu deforestasi. Juga manfaat kelapa sawit bagi ekonomi petani dan potensi kerjasama antara Swiss dan petani sawit dalam hal dukungan keberlanjutan petani sawit.
Sudah Diantisipasi
Menjawab pertanyaan Martina mengenai persepsi petani sawit Indonesia tentang keberlanjutan dan peraturan yang ditetapkan UE untuk pengetatan impor minyak sawit, Gulat menjelaskan bahwa Petani sawit terkejut (karena heran) dengan regulasi tersebut karena dari tahun ke tahun impor minyak sawit dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di negara-negara UE terus meningkat. Meskipun terkejut tapi Pemerintah Indonesia sudah lebih dahulu mengantisipasinya justru dengan pengetatan ekspor dan meningkatkan serapan domestik melalui program B35.
“Kami butuh pasar UE, tapi bukan berarti Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar bisa dengan mudah diatur oleh siapapun. Sesungguhnya, strategi pemerintah Indonesia melalui pengetatan ekspor dan meningkatkan serapan domestik adalah untuk melindungi petani sawit supaya mendapatkan harga yang layak ditengah ancaman resesi dunia. Kebijakan UE tersebut sangat jelas dominan politik dagang dan kami petani sawit salah satu incaran dari kebijakan tersebut,” tandas Gulat.
Namun Martina langsung membantah pernyataan Gulat tersebut. “Kami tidak ikut bersepakat dalam perencanaan peraturan itu dan kami (Swiss) tidak menjadi bagian daripada itu,” ucapnya.
Martina pun penasaran dengan informasi bahwa petani mendapatkan insentif untuk mendapatkan sertifikasi ISPO. Gulat pun menjelaskan bahwa ISPO adalah Mandatory bagi petani sejak lahirnya Perpres ISPO tahun 2020. “Saya sejak pembahasan Perpres tersebut sudah mengatakan bahwa Petani sawit tetap saja di level voluntary (sukarela) karena masih banyak kendala yang harus diberesi oleh pemerintah terlebih dahulu. Namun faktanya tetap saja diwajibkan (mandatory),” sesalnya.
Keraguan tersebut menjadi nyata bahwa sampai April tahun 2022 lalu, kebun petani sawit yang sudah mendapatkan sertifikasi ISPO baru 22.036,1 ha atau baru 0,32 % dari total luas perkebunan kelapa sawit rakyat (6,87 juta ha). “Tentu ini sangat mencemaskan kami petani sawit, karena batas mandatory tahun 2025 sudah tidak lama lagi,” keluh Gulat.
Ada tiga kendala utama (skala prioritas) petani sawit untuk meraih ISPO tersebut, pertama lahan petani sawit paling tidak 2,176 juta ha masih di klaim dalam Kawasan hutan. Syarat utama ISPO adalah harus tidak diklaim dalam Kawasan Hutan. Kedua adalah lahan perkebunan sawit petani paling maksimum 10 % yang sudah bersertifikat BPN (Badan Pertanahan Nasional). Sementara syarat mendapatkan ISPO harus sudah sertifikat. Ketiga adalah syarat untuk mendapatkan sertifikat harus berkelompok (kelembagaan), sementara luas kebun petani yang sudah berkelompok paling maksimum hanya 15 %. “Yang pasti kami petani sawit sangat bergairah untuk bisa mengikuti arahan dari pemerintah guna menjaga kelestarian alam salah satunya melalui ISPO,” ujarnya.
Philipp pun penasaran mengenai keyakinan petani untuk bisa mendapatkan ISPO. Namun Djono menyatakan bahwa, jika permasalahan yang disampaikan Ketum APKASINDO bisa terselesaikan maka tidak perlu diragukan lagi, para petani sawit pasti segera mendapatkan sertifikasi ISPO.
Ketika Martina bertanya mengenai persepsi petani tentang penggunaan pupuk organik, Gulat menjelaskan bahwa petani sawit sangat familiar dengan pupuk organic, apalagi disaat harga pupuk kimia saat ini sangat mahal. “Petani sawit sangat berkomitmen terhadap aspek keberlanjutan lingkungan yang sudah dibuktikan melalui berbagai hasil riset,” terangnya.
Urgensi Sawit Bagi Petani
Pada kesempatan tersebut Djono meminta SECO untuk turut serta membantu menjelaskan ke masyarakat Swiss tentang betapa pentingnya usaha perkebunan sawit bagi ekonomi petani dan petani sawit adalah bagian penting dalam pelestarian lingkungan melalui kearifan lokal masyarakat. “Petani sawit itu tidak hanya menanam sawit, tapi juga menjalankan aneka ragam usaha lainnya, seperti beternak sapi, kambing dan memelihara tanaman lainnya diseputar perkebunannya. Hal itu sangat sesuai dengan keinginan untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Justru petani sawit telah menjadi bagian dari reforestasi (menghijaukan kembali lahan-lahan terdegredasi atau gundul),” urainya.
Saat Djono menyampaikan hal tersebut, Martina sambil tersenyum mengatakan “Sangat tertarik ingin segera berkunjung ke kebun petani, karena saya belum pernah melihat pohon sawit.” Gayung bersambut, Jono pun langsung mengajak Martina untuk segera berkunjung ke kebun sawit milik anggota APKASINDO yang tersebar di 164 Kabupaten Kota dari 22 Provinsi perwakilan APKASINDO.
Menanggapi pertanyaan Philipp tentang persepsi petani terhadap Undang-Undang Omnibus Law, Djono menjelaskan bahwa sesungguhnya Omnibus Law sangat luar biasa. Namun untuk persyaratan lahan petani yang di klaim dalam Kawasan Hutan sangat rumit sehingga kecil kemungkinan petani bisa memenuhi persyaratan tersebut. “Apalagi akhir-akhir ini oleh sekelompok NGO memunculkan istilah Jangka Benah. Apa yang mau dibenahkan, kan lahan-lahan terdegredasi dan gundul tadi sudah dihijaukan oleh petani sawit, justru menjangka benahkan lagi yang akan merusak empat dimensi sekaligus (dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum),” terangnya.
“Seharusnya, dengan Omnibus Law tersebut bisa langsung memperjelas lahan petani yang di klaim dalam Kawasan Hutan. Tapi faktanya masih harus berbelit-belit, seakan tidak ikhlas kami petani melanjutkan usaha kami dengan kepastian kepemilikan lahan,” tambah Djono.
Mendengar uraian Gulat dan Djono, Martina bertanya “Apa yang bisa dilakukan pemerintah Swiss untuk membantu petani ?”. Gulat meminta dua hal, pertama partisipasi Swiss dalam hal pembiayaan penyiapan data-data (inventarisasi) tentang lahan petani yang tidak terkait ke Kawasan Hutan untuk kemudian disertifikatkan. Kedua, adanya pertemuan antara petani sawit dengan perusahaan pengguna minyak sawit di Swiss sehingga bisa terjalin kesepakatan B2B (business-to-business). Dengan metode ini akan semakin jelas konsep ketertelusuran asal minyak sawit.
Diakhir pembicaraan, Gulat menitip pesan ke SECO supaya menyampaikan ucapan terimakasih petani sawit Indonesia kepada masyarakat Swiss karena telah bersepakat melalui referendum masyarakat Swiss untuk tetap mengimpor minyak sawit dari Indonesia tahun 2021 lalu. “Hal ini sangat berarti bagi kami sebagai petani sawit karena menopang kesejahteraan ekonomi rumah tangga kami. Dan kami akan mencatat itu sebagai sejarah. Meskipun masyarakat Swiss pada umumnya belum pernah melihat pohon sawit tapi masyarakat Swiss sudah mengedepankan logika,” tutur Gulat sambil menyalami Monika dan Philipp.