Jakarta – Meskipun negara-negara Uni Eropa dan Amerika berusahan menekan perdagangan minyak sawit (crude palm oil) Indonesia dengan berbagai cara, namun fakta tak bisa dielakkan. Kelapa sawit terbukti dalam setiap hektare pertahunnya mampu menghasilkan 6000 liter Boidiese, sedangkan kedelai hanya 440 liter.
Bahkan, penggunaan biodiesel sawit mampu mengurangi gas rumah kaca (GRK) hingga 62 persen dibandingkan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi. Penggunaan bahan bakar fosil, seperti pada kendaraan, pabrik, peralatan rumah tangga mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) 4.228 ton. Sedangkan biodiesel sawit hanya memproduksi 2.627 ton.
Hasil penelitan Van Zuthpen menyebutkan, jumlah karbon yang diikat dari udara oleh perkebunan sawit perhektar pertahunnya, ternyata tak jauh berbeda dengan jumlah hutan hujan tropis, yaitu 161 ton. Sedangkan hutan tropis 163,5 ton perhektar pertahun. Meskipun dari total biomassa, hutan tropis tentu lebih besar empat kali lipat dari sawit, yaitu 431 ton, sedangkan sawit (100 ton).
Dari hasil penelitian Van Zuthpen ini tidak ada alasan lagi bagi negara-negara Eropa dan Amerika untuk terus menerus menuding perkebunan kelapa sawii indonesia tidak ramah lingkungan serta tak ada alasan bagi Uni Eropa menerapkan aturan ketat mengenai peredaran minyak sawit Indonesia. “Pemerintah Uni Eropa bahkan belum meneliti hal ini,†kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi. Capaian 62 persen ini, kata Bayu lebih besar dari syarat dan ketentuan Uni Eropa.
Pada 2010, Uni Eropa mengumumkan hanya mengakui dan menerima impor biodiesel yang bisa menghemat 35 persen GRK. Faktanya, angka yang dihasilkan Indonesia bahkan sudah melampaui target Uni Eropa 2025 sebesar 50 persen. Dalam Uni Eropa sendiri, kata Bayu, masih ada perdebatan. Jerman dan sebagian negara Eropa Utara ingin lebih longgar dalam menerima kehadiran CPO Indonesia sebagai biodiesel di benua tersebut. Tapi, Prancis dan sebagian besar negara Eropa Barat tetap bersikeras menolak dan mengatur ketat.