Jakarta — Tak terima atas kebijakan blok perdagangan terkait impor bahan bakar nabati berbasis minyak sawit secara bertahap ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Malaysia akan mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa.
Hal itu dikonfirmasi oelh Menteri Industri dan Komoditas Perkebunan Mohd Khairuddin Aman Razali mengatakan bahwa Malaysia akan terus melawan segala tindakan diskriminatif yang mengancam ekonomi negara dan mata pencaharian rakyatnya.
“Tindakan hukum sedang dalam proses. Kami telah membawa memorandum ke kabinet dan telah setuju untuk mengambil tindakan terhadap UE atas rencana terakhir untuk membatasi dan menghentikan impor minyak sawit yang kami anggap diskriminatif,” ujarnya dikutip dari lama themalaysianreserve.com edis Selasa (12/1/2021).
Razali juga menegaskan sikapnya tentang kebijakan UE terkait sawit yang dianggap merugikan Negaranya dalam konferensi pers di Palm Oil Economic Review dan Outlook Virtual Conference 2021, Senin (11/1/2021). “Kami akan mengajukan tindakan hukum akhir pekan ini pada 15 Januari,” tegasnya.
Seperti yang diketahui UE telah mengadopsi proposal tindakan yang didelegasikan yang menerapkan Petunjuk Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive II/REDII), undang-undang kebijakan ET utama blok perdagangan.
Melalui REDII, blok perdagangan dan negara-negara anggota UE diharapkan dapat meningkatkan porsi sumber terbarukan dalam bauran konsumsi energi mereka menjadi 32 persen dari total konsumsi energi pada 2030, yang mengindikasikan penghentian penggunaan biofuel.
Arahan tersebut menunjukkan bahwa budi daya kelapa sawit berkontribusi pada emisi rumah kaca, deforestasi, dan perubahan penggunaan lahan tidak langsung, yang kemudian mengklasifikasikannya sebagai aktivitas “berisiko tinggi”.
Dalam tindakan hukum, Malaysia mengupayakan keputusan yang tidak bias atas tindakan yang didelegasikan UE, yang mengecualikan minyak sawit sebagai bagian dari campuran bahan bakar nabati.
Malaysia juga menyerukan agar UE untuk mendefinisikan kembali aktivitas budi daya kelapa sawit, yang selama ini diklasifikasikan berisiko tinggi.
Pada Desember 2019, Indonesia, produsen minyak sawit terbesar di dunia, mengajukan gugatan terhadap UE ke WTO dengan alasan bahwa pembatasan biofuel berbasis minyak sawit tidak adil dan meminta konsultasi dengan blok perdagangan tersebut.
Malaysia juga sedang mengamati sebagai pihak ketiga dalam kasus Indonesia melawan UE, bersama dengan negara penghasil minyak sawit lainnya seperti Kolombia, Ekuador, Guatemala, Thailand, Australia, Brasil, AS, Kosta Rika dan India, serta negara bukan produsen seperti China, Kanada, Singapura, Korea Selatan, Turki, Norwegia, Rusia, Argentina, dan Jepang.