Indonesia harus memenuhi tiga syarat untuk memperkua posisinya sebagai produsen sekaligus eksportir minyak sawit (CPO) terbesar dunia. Tiga syarat ini adalah memperbaiki daya saing, memperluas produk turunan dan mengatasi hambatan di negara tujuan ekspor. “Jika tiga syarat ini sudah dipenuhi semua, posisi Indonesia semakin kuat,” kata Joko Supriyono setelah terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum GAPKI periode 2018-2013.
Daya saing menjadi faktor penting untuk berkompetisi dengan negara produsen lainnya. Karena itu, mau tidak mau harus dilakukan perbaikan pada biaya logistik, infrastruktur, dan social security cost. Kalau hambatan daya saing tidak dipecahkan, dampaknya adalah penurunan kualitas dan terancamnya keberlanjutan industri sawit di masa depan.
“Kita sudah kehilangan sejumlah komoditas unggulan di masa lalu. Sekarang perolehan devisa Indonesia mengandalkan sawit untuk menjaga surplus neraca perdagangan. Jangan sampai neraca perdagangan menjadi minus sehingga berakibat kepada tekanan berat untuk rupiah dan posisi Indonesia di pasar global,” katanya.
Menurut Joko Supriyono, industri sawit belum merasakan dampak deregulasi karena deregulasi belum menyentuh aspek ketidakpastian hukum atau kepastian investasi sebagai contoh masalah tata ruang yang selalu berubah. Yang mencemaskan kalangan pengusaha justru setelah puluhan tahun menjadi pemegang HGU pada kenyataannya kebun tumpang tindih dengan kawasan hutan atau tidak bisa direplanting dan tidak dapat diperpanjang karena masuk fungsi lindung.
Potenti sawit untuk berkembang cukup bagus. Sebab, kebutuhan minyak nabati dunia diprediksi meningkat signifikan mencapai 226 juta ton sampai 2025. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan 2015 sebanyak 182 juta ton. Tingginya permintaan minyak nabati ini mengikuti pertumbuhan populasi penduduk dunia. Karena pada 2025 diperkirakan populasi penduduk dunia di atas 8 miliar jiwa.