Paska keberadaan minyak sawit yang sarat akan berbagai peraturan kesehatan manusia, minyak sawit kini menghadapi tantangan baru guna menyatakan ketidak terlibatannya dalam perusakan hutan atau deforestasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), menjadi tantangan besar dalam melakukan peran pentingnya sebagai pemasok kebutuhan minyak nabti dunia.
Merujuk adanya kabar terbaru dari parlemen Uni Eropa, yang melakukan pemungutan suara baru-baru ini, memberikan gambaran akan kepedulian terhadap produk yang dikonsumsi masyarakatnya. Keberadaan minyak nabati (termasuk minyak sawit), secara nyata dipersyaratkan tidak terkait dengan deforestasi dan pelanggaran HAM.
Adanya kepedulian dan kepemimpinan parlemen dan masyarakat Uni Eropa ini, telah menjadi pijakan baru, akan adanya tantangan kemampu telusuran minyak sawit di pasar global. Dimana, keberadaan produksi minyak sawit global, lebih dari 85% berasal dari Malaysia dan Indonesia. Bermuara dari produksi inilah, minyak sawit memiliki kompetensi besar memenuhi kebutuhan pasar minyak nabati global yang dibutuhkan dunia termasuk Uni Eropa.
Pasalnya, keberadaan perkebunan kelapa sawit, telah dikembangkan lebih dari 100 tahun secara komersial di Indonesia. Keberadaan perkebunan kelapa sawit nasional yang telah mencapai lebih dari 16,3 juta hektar di Indonesia, telah berkontribusi signifikan terhadap keberadaan produksi minyak sawit mentah (CPO) dunia sebesar 48 juta ton atau sekitar 55% dari produksi dunia.
Produksi yang sebagian besar berasal dari Indonesia ini, telah menyuplai sebagian besar kebutuhan pasar global akan minyak makanan dan non makanan di banyak negara. Sehingga, masyarakat dunia dapat mengonsumsi minyak makanan yang sehat dengan harga terjangkau. Di sisi lain, keberadaan minyak non makanan, sebagian besar digunakan sebagai bahan baku yang mampu menghasilkan berbagai produk ramah lingkungan dan terbarukan.
Perkebunan kelapa sawit Indonesia yang sebesar lebih dari 42% dimiliki petani kelapa sawit, juga memiliki peranan besar akan keberadaan produksi CPO global yang dikonsumsi masyarakat dunia termasuk Uni Eropa. Keberadaan petani kelapa sawit yang tersebar luas di Indonesia, juga memerlukan dukungan nyata akan tantangan yang diberikan pasar Uni Eropa.
Dukungan Pasar Uni Eropa dibutuhkan Petani
Kemamputelusuran minyak sawit hingga konsumennya, secara nyata dapat memberikan gambaran akan rekam jejak bagaimana produksi minyak sawit mentah (CPO) dihasilkan hingga dikonsumsi di dunia. Sebab itu, kemamputelusuran tidak semata hanya berbicara berbagai persoalan di sektor produksi, tetapi juga berbicara adanya berbagai persoalan di pasar tujuannya.
Pasar tujuan CPO yang tersebar di seluruh dunia, juga memiliki beragam persoalan pula. Dari berbagai persoalan regulasi ekspor dan impor, persoalan tarif dan non tarif hingga persoalan selera konsumen. Berbagai persoalan pasar CPO memang kerap jarang terdengar, lantaran berbagai kesulitan yang dihadapi, seringkali dianggap hanya merupakan persoalan bisnis minyak sawit semata, yang notabene menjadi persoalan dari produsen minyak sawit.
Di sisi lain, persoalan pasar hanya bermuara dari selera dan kepentingan konsumen semata. Jika kurang berselera, maka konsumen dengan mudahnya memilih untuk tidak mengonsumsi minyak sawit. Terlebih bila menyangkut kepentingan nasional dari negara tujuan ekspor, dengan mudahnya, berbagai regulasi tarif dan non tarif diadakan, guna menghadang masuknya CPO dan produk turunannya.
Sebab itu, persoalan deforestasi dan HAM yang disuarakan parlemen Uni Eropa, bisa jadi merupakan selera konsumen dari masyarakat Uni Eropa. Keberadaan hutan belantara yang nyaris tak bersisa, menjadi sandaran utama akan adanya bahaya deforestasi yang akan melenyapkan habitat yang berada didalamnya termasuk kehidupan manusia pada akhirnya.
Terlebih persoalan HAM, yang penuh kepedihan dan berbagai tragedi kemanusiaan dalam sejarah Uni Eropa, juga menjadi catatan tersendiri bagi kehidupan masyarakat Uni Eropa. Sebab itu, kepedulian parlemen dan masyarakat Uni Eropa, harus pula mendapat apresiasi nyata dari produsen CPO di Indonesia.
Kepedulian parlemen dan masyarakat Uni Eropa, sejatinya dapat diselaraskan dengan keberadaan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang sudah memberikan sertifikasi bagi perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit. Sehingga, permintaan konsumen Uni Eropa, dapat terpenuhi dari jutaan CPO dan produk turunan, yang telah tersertifikasi berkelanjutan.
Selain itu, kemamputelusuran CPO dan produk turunannya juga dapat melibatkan petani kelapa sawit dalam mata rantai produksi hingga konsumsinya. Sehingga, kerja keras petani kelapa sawit mendapatkan apresiasi dari harga premium yang dibayar konsumen Uni Eropa. Sehingga, keingan konsumen dapat terpenuhi dengan produksi CPO yang tidak terlibat deforestasi dan pelanggaran HAM.
Disinilah, peranan dari berbagai pihak dibutuhkan, guna mendorong adanya pemenuhan produksi sesuai selera konsumen. Tak hanya beretorika semata, tetapi memiliki kemampuan pula menyelaraskan kebeutuhan konsumen dengan proses produksi yang sudah dilakukan secara berkelanjutan selama ini. Lantaran produksi minyak sawit berkelanjutan masih menumpuk, sedangkan konsumen yang menuntut selama ini tak kunjung menaikkan permintaannya.
Namun, produsen CPO dan produk turunannya juga harus bersiap diri, lantaran tuntutan akan adanya ketidak terlibatan deforestasi dan pelanggaran HAM ini, dapat pula menjadi peluang besar bagi masyarakat Uni Eropa yang akan menjadikannya sebuah standar keamanan baru bagi minyak sawit, sehingga dibutuhkan sertifikasi baru yang akan menambah biaya produksi CPO pada ujungnya.